JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah insentif yang diberikan Pemerintah kepada pengemudi ojek online (ojol) telah membuat seorang Sidiq Cahyono merasa dianaktirikan.
Sidiq adalah sopir bus malam eksekutif antar kota antar provinsi (AKAP) dari PO Kramat Djati. Dia merasakan kesenjangan, karena Pemerintah terlalu memanjakan ojol dan angkutan daring lainnya.
Kata Sidiq, ketidakadilan semakin vulgar diperlihatkan, saat BUMN terbesar negeri ini, PT Pertamina (Persero), mengeluarkan kebijakan cash back 50 persen bagi ojol dan sopir transportasi daring lainnya untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi.
Kebijakan itu dikeluarkan pada Selasa (14/2/2020), tepat satu bulan dua minggu saat Sidiq harus menerima nasib anjloknya penghasilan bulanan karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Baca juga: Transportasi Seharusnya Tunduk pada PSBB Kementerian Kesehatan
"Biasanya saya bisa narik 12 kali pergi pulang (PP) Jakarta-Surabaya, kini sebulan cuma 4 kali PP. Bahkan ada rekan yang hanya bisa narik 10 hari sekali PP Jakarta-Palembang," ujar Sidiq kepada Kompas.com, Rabu (15/4/2020).
PSBB diberlakukan dengan sangat ketat oleh PO Kramat Djati, termasuk mengurangi kapasitas penumpang dalam unit bus, mengurangi frekuensi perjalanan, dan merumahkan 50 sopir yang kadung berada di luar wilayah Jakarta.
Sementara bagi sopir seperti dirinya yang masih berada di episentter Covid-19 atau red zone dibatasi untuk melakukan perjalanan ke luar Jakarta.
Menurut Sidiq, penghasilannya bakal semakin minim pada minggu-minggu mendatang karena beberapa daerah sudah mengajukan PSBB wilayah.
"Akan semakin panjang antrean untuk mendapatkan kesempatan meraup penghasilan," imbuh Sidiq yang sudah bekerja sebagai sopir bus malam sejak 2005.
Baca juga: Menanti Keputusan Mudik dan Transportasi Online yang Jadi Beban Negara
Kebijakan PSBB secara Nasional yang diberlakukan sejak Senin (13/3/2020) tak hanya memangkas pendapatan Sidiq, juga sopir angkutan pariwisata. Bahkan, lebih buruk.
Contohnya Stefanus Putra Atihdhira yang bekerja untuk Samudera Star Indotama (SSI). Dia sudah tidak mengemudikan kendaraan pariwisata lagi selama lebih dari dua bulan.
"Saya sampai lupa bagaimana injak kopling, lupa cara nge-tap uang elektronik di gardu tol, dan lupa lokasi toko oleh-oleh. Ini karena saking lamanya sayang nggak jalan," seloroh Dhira getir.
Penghasilannya kini tak menentu. Sementara tuntutan kebutuhan hidup terus berjalan. Mulai dari tagihan kontrakan rumah, listrik, air, biaya SPP sang adik, dan kebutuhan hidup orang tua.
Dua bulan sudah Dhira belum membayar biaya sewa rumah dengan nilai total Rp 3 juta. Dia pun harus memutar otak dan bekerja ekstra keras mencari penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan hariannya bersama keluarga.