Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Riki Frindos
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI

Sejak 2018, Riki Frindos menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, yang merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masrakat (LSM) lingkungan terbesar di Indonesia.

Sebelumya, Riki menjejakkan kariernya selama 20 tahun di industri pasar modal Jakarta maupun Singapura.

Dia pernah menjabat sebagai Investment Director bersama Global Macro Team of Eastspring Investments Singapore, dengan jabatan terakhir CEO dan Chief Investment PT Eastspring Investment Indonesia.

Riki menyelesaikan studi Tenik Elektro di Institur Teknologi Bandung (ITB), dan pernah mengeyam pendidikan di Universitas Padjajaran Bandung.

 

Perubahan Iklim dan Aset Terbengkalai Perusahaan Energi

Kompas.com - 25/03/2020, 16:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahkan, sebetulnya, CO2 adalah berkah. Tanpa CO2 bumi kita akan jauh lebih dingin, dan manusia mungkin tidak mampu bertahan.

Keberadaan CO2 yang “melapisi” atsmosfir, membantu “memerangkap” radiasi matahari yang memantul dari permukaan bumi, sehingga permukaan bumi tetap hangat.

Bumi ibaratnya sebuah rumah kaca, dengan lapisan CO2 sebagai lapisan kaca yang menjaga suhu bumi tetap hangat.

Namun, aktivitas manusia memperbanyak emisi CO2, terutama melalui penggunaan energi berbasis fosil seperti batubara dan minyak bumi, mengakibatkan kian tebalnya lapisan CO2 di atsmosfir bumi kita.

Konsekuensinya, pantulan radiasi matahari yang ditahan oleh lapisan CO2 tadi semakin besar. Bumi kita semakin panas.

Saat ini, dibanding seabad yang lalu, suhu rata-rata Planet Bumi telah naik sekitar satu derajat celcius (1C), yang diperkirakan akan terus naik, jika kita tidak berbuat sesuatu.

Angka 1C atau 2C terdengar kecil, namun implikasinya terhadap keseimbangan iklim di Planet Bumi sangat substansial.

Dampak yang mulai kita rasakan adalah cuaca yang ekstrem, seperti banjir besar, kemarau panjang, badai salju.

Berbagai spesies dan ekosistem keanekaragaman hayati, baik di darat mau pun di laut, mulai rusak dalam skala yang sangat mengkhawatirkan.

Mencairnya cadangan es, terutama di kutub utara, akan menaikkan permukaan air laut dan mengancam peradaban kemanusiaan.

Masih sangat panjang daftar malapetaka yang dapat diakibatkan oleh pemanasan global ini. Oleh karena itu, dunia bersepakat bahwa kenaikan suhu global karena aktivitas manusia harus dikendalikan.

Melalui proses panjang, pada tahun 2015 di kota Paris, segenap pemerintahan di seluruh dunia sepakat melakukan usaha membatasi kenaikan suhu global maksimal 2C, lebih baik lagi 1.5C. Kesepakatan ini dikenal dengan Paris Agreement.

Artinya “kuota” kita untuk kenaikan suhu global hanya 0.5C-1C lagi. Untuk itu, kita harus mengubah gaya hidup, pola produksi dan perilaku konsumsi, terutama menyangkut penggunaan energi berbasis fosil.

Dalam kata lain, kita harus membatasi “kuota” kita dalam mengkonsumsi dan memproduksi minyak bumi dan batubara.

Risiko Aset Terbengkalai Perusahaan Energi Berbasis Fosil

Kita tahu isu minyak bumi dan batubara bukanlah pasokan, tapi permintaan. Namun, kali ini permintaan dibatasi dengan ketat.

Kita harus mengonsumsi minyak bumi dan batubara sesuai “kuota”. Jika tidak, maka berbagai bencana akan menanti kita dan anak cucu pada tahun-tahun mendatang.

Jadi, seberapa besar pun cadangan minyak dan batubara yang dimiliki oleh perusahaan atau negara, pada akhirnya sebagian (besar) tidak akan bernilai.

Hal ini karena yang bisa dieksploitasi hanya sesuai “kuota”. Sisanya terbengkalai begitu saja di dalam perut bumi tanpa nilai, atau menjadi stranded assets.

Ini merupakan risiko besar bagi investor, karena nilai perusahaan energi sangat tergantung pada berapa besar cadangan minyak atau batubara mereka. Ini biasanya diasumsikan dapat dimonetisasi selama ada permintaan.

Carbon Tracker, sebuah lembaga think tank di London, menamakan situasi sekarang sebagai “carbon bubble”.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau