Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Riki Frindos
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI

Sejak 2018, Riki Frindos menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, yang merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masrakat (LSM) lingkungan terbesar di Indonesia.

Sebelumya, Riki menjejakkan kariernya selama 20 tahun di industri pasar modal Jakarta maupun Singapura.

Dia pernah menjabat sebagai Investment Director bersama Global Macro Team of Eastspring Investments Singapore, dengan jabatan terakhir CEO dan Chief Investment PT Eastspring Investment Indonesia.

Riki menyelesaikan studi Tenik Elektro di Institur Teknologi Bandung (ITB), dan pernah mengeyam pendidikan di Universitas Padjajaran Bandung.

 

Perubahan Iklim dan Aset Terbengkalai Perusahaan Energi

Kompas.com - 25/03/2020, 16:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPEREMPAT abad yang lalu di Institut Teknologi Bandung (ITB), Teknik Perminyakan bukanlah jurusan yang terlalu popular.

Salah satu isu yang beredar di kalangan calon mahasiswa adalah cadangan minyak akan habis. Jadi, buat apa menjadi sarjana perminyakan.

Kami, anak-anak muda lebih bersemangat untuk belajar teknologi, dan berlomba-lomba mengejar kursi di jurusan yang berkaitan dengan elektronika dan komputer.

Satu dekade kemudian, industri minyak bumi tumbuh luar biasa pesatnya, harganya juga melejit.

Pamor Teknik Perminyakan ikut menanjak juga di ITB. Rupanya, permasalahannya bukan pada  cadangan minyak bumi yang ternyata masih berlimpah, tetapi permintaan atau demand.

Pada era 1990-an harga minyak terperosok karena pertumbuhan permintaan energi yang terbatas.

Sementara, dekade 2000-an permintaan terhadap energi terus meroket. Hal ini terutama dipicu oleh bangkitnya perekonomian raksasa dunia, China.

Permintaan terhadap minyak bumi serta sumber energi berbasis fosil lainnya, seperti batu bara, melambung tinggi.

Produsen energi dengan antusias mengeksplorasi potensi cadangaan minyak bumi dan batubara, dan memproduksinya sebanyak mungkin.

Cadangan baru pun semakin banyak ditemukan. Bahkan, cadangan yang tadinya tidak ekonomis untuk dieksploitasi pun, macam shale oil, sekarang menjadi mungkin, karena kemajuan teknologi dan insentif harga yang kian tinggi.

Tahun 2018, Apple dinobatkan sebagai perusahaan bernilai paling besar di dunia, mencapai 1 triliun dollar AS.

Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa jauh sebelumnya, tepatnya pada tahun 2007, nilai pasar sebuah perusahaan China telah menembus angka angka yang sama.

Perusahaan tersebut adalah PetroChina, sebuah BUMN minyak dan gas negeri Tirai Bambu.

Memang, selepas krisis ekonomi global 2008, harga minyak mengalami konsolidasi, menyesuaikan dengan ritme permintaan.

Batubara, Minyak Bumi, dan Malapetaka Perubahan Iklim

Kekhawatiran pasokan minyak bumi akan habis ternyata tidak terbukti. Potensi cadangan minyak, dan bahan bakar energi berbasis fosil lainnya, masih terkendali.

Selain itu, dipandang masih mampu memenuhi kebutuhan energi hingga puluhan tahun atau lebih pada masa yang akan datang.

Namun, bukan berarti tidak ada permasalahan sama sekali. Justru kita menghadapi isu yang lebih besar.

Manusia akhirnya semakin menyadari bahwa produksi energi yang berbasis fosil, terutama batubara dan minyak bumi, menimbulkan efek negatif yang luar biasa bagi kehidupan di Planet Bumi.

Setiap penggunaan energi berbasis fosil yang kita keruk dari perut bumi akan mengeluarkan CO2 ke angkasa.

Awalnya, manusia tidak menyadari efek negatif dari CO2. Karena, CO2 merupakan bagian inheren dari sirkulasi Planet Bumi yang diproduksi oleh alam.

Bahkan, sebetulnya, CO2 adalah berkah. Tanpa CO2 bumi kita akan jauh lebih dingin, dan manusia mungkin tidak mampu bertahan.

Keberadaan CO2 yang “melapisi” atsmosfir, membantu “memerangkap” radiasi matahari yang memantul dari permukaan bumi, sehingga permukaan bumi tetap hangat.

Bumi ibaratnya sebuah rumah kaca, dengan lapisan CO2 sebagai lapisan kaca yang menjaga suhu bumi tetap hangat.

Namun, aktivitas manusia memperbanyak emisi CO2, terutama melalui penggunaan energi berbasis fosil seperti batubara dan minyak bumi, mengakibatkan kian tebalnya lapisan CO2 di atsmosfir bumi kita.

Konsekuensinya, pantulan radiasi matahari yang ditahan oleh lapisan CO2 tadi semakin besar. Bumi kita semakin panas.

Saat ini, dibanding seabad yang lalu, suhu rata-rata Planet Bumi telah naik sekitar satu derajat celcius (1C), yang diperkirakan akan terus naik, jika kita tidak berbuat sesuatu.

Angka 1C atau 2C terdengar kecil, namun implikasinya terhadap keseimbangan iklim di Planet Bumi sangat substansial.

Dampak yang mulai kita rasakan adalah cuaca yang ekstrem, seperti banjir besar, kemarau panjang, badai salju.

Berbagai spesies dan ekosistem keanekaragaman hayati, baik di darat mau pun di laut, mulai rusak dalam skala yang sangat mengkhawatirkan.

Mencairnya cadangan es, terutama di kutub utara, akan menaikkan permukaan air laut dan mengancam peradaban kemanusiaan.

Masih sangat panjang daftar malapetaka yang dapat diakibatkan oleh pemanasan global ini. Oleh karena itu, dunia bersepakat bahwa kenaikan suhu global karena aktivitas manusia harus dikendalikan.

Melalui proses panjang, pada tahun 2015 di kota Paris, segenap pemerintahan di seluruh dunia sepakat melakukan usaha membatasi kenaikan suhu global maksimal 2C, lebih baik lagi 1.5C. Kesepakatan ini dikenal dengan Paris Agreement.

Artinya “kuota” kita untuk kenaikan suhu global hanya 0.5C-1C lagi. Untuk itu, kita harus mengubah gaya hidup, pola produksi dan perilaku konsumsi, terutama menyangkut penggunaan energi berbasis fosil.

Dalam kata lain, kita harus membatasi “kuota” kita dalam mengkonsumsi dan memproduksi minyak bumi dan batubara.

Risiko Aset Terbengkalai Perusahaan Energi Berbasis Fosil

Kita tahu isu minyak bumi dan batubara bukanlah pasokan, tapi permintaan. Namun, kali ini permintaan dibatasi dengan ketat.

Kita harus mengonsumsi minyak bumi dan batubara sesuai “kuota”. Jika tidak, maka berbagai bencana akan menanti kita dan anak cucu pada tahun-tahun mendatang.

Jadi, seberapa besar pun cadangan minyak dan batubara yang dimiliki oleh perusahaan atau negara, pada akhirnya sebagian (besar) tidak akan bernilai.

Hal ini karena yang bisa dieksploitasi hanya sesuai “kuota”. Sisanya terbengkalai begitu saja di dalam perut bumi tanpa nilai, atau menjadi stranded assets.

Ini merupakan risiko besar bagi investor, karena nilai perusahaan energi sangat tergantung pada berapa besar cadangan minyak atau batubara mereka. Ini biasanya diasumsikan dapat dimonetisasi selama ada permintaan.

Carbon Tracker, sebuah lembaga think tank di London, menamakan situasi sekarang sebagai “carbon bubble”.

Cadangan minyak bumi dan batubara perusahaan-perusahaan besar dunia sebagian besar pada akhirnya tidak akan bisa dimonetisasi.

Dalam risetnya, Carbon Tracker melakukan analisa komprehensif terhadap tujuh perusahaan energi fosil terbesar di dunia, yaitu ExxonMobil, Shell, Chevron, British Petroleum (BP), Total, Eni, dan ConocoPhillips.

Menurut Carbon Tracker, berdasarkan jumlah cadangan terbukti (proven reserve) dan tingkat produksi sekarang, perusahaan energi dunia dapat memproduksi minyak dan gas hingga 50 tahun yang akan datang.

Sementara perusahaan batubara dapat memproduksi batubara hingga 130 tahun yang akan datang.

Namun, sebagian besar cadangan minyak dan batubara tersebut kemungkinan tidak akan bernilai karena tidak boleh diproduksi, untuk mengendalikan perubahan iklim.

Menurut Carbon Tracker, perusahaan-perusahaan tersebut akan menghabiskan “kuota” mereka dalam jangka waktu sekitar 10-20 tahun saja. Setelah itu, mereka tidak bisa lagi menyentuh cadangan mereka.

Sebagai alternatif, mereka harus mengurangi produksi setiap tahunnya secara signifikan, atau mengurangi jumlah emisi karbon untuk setiap produksi dan hasil produksi mereka.

Bisa secara langsung melalui teknologi Carbon Capture and Storage (CCS), atau secara tidak langsung dengan merestorasi ekosistem alam di lokasi lain.

Namun, ini hanya akan dapat mengompensasi sebagian kecil saja dari emisi karbon mereka.

Yang lebih masuk akal adalah bagi perusahaan energi untuk mentransformasi model bisnis mereka dengan membangun sumber energi bersih dan terbarui, seperti sinar matahari dan angin.

Selain itu, investor dapat mengalokasikan dana mereka pada sektor-sektor tersebut. Tidak saja ini akan mencegah bumi kita dari malapetaka krisis iklim, tetapi juga menghindarkan investor dari risiko kerugian yang signifikan dari aset stranded assets.

Transformasi Sumber Energi

Pergeseran dari energi berbasis fosil (minyak dan batubara) ke energi bersih dan terbarui, akan terus belanjut dengan pesat.

Sepuluh tahun lalu, misalnya, pembangkitan tenaga listrik di Inggris masih didominasi oleh batubara. 

Hari ini, tidak sampai 3 persen saja, dan dalam waktu 5 tahun semua pembangkit listrik batubara di Inggris akan ditutup.

Bahkan di Amerika Serikat (AS), di mana pemimpinnya mengelu-elukan batubara dan mendiskreditkan para ilmuwan dan akademisi mengenai perubahan iklim, transformasi dari energi berbasis fosil ke energi bersih berlangsung dengan cepat.

Dan ini tercermin pada lapangan kerja juga. Saat ini jumlah tenaga kerja di bidang clean energy di AS tiga kali lipat lebih besar dari tenaga kerja di bidang energi berbasis fosil, minyak, gas, dan batubara.

Nah, seperempat abad lalu calon mahasiswa yang memiliki minat di bidang energi primer seringkali dihadapkan pada pilihan terbatas, memilih Teknik Perminyakan, atau Teknik Pertambangan.

Berbeda dengan anak-anak muda hari ini. Mereka memiliki pilihan yang terbuka lebar dan memiliki kesempatan untuk berbuat sesuatu mempertahankan bumi dari malapetaka krisis iklim.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau