SEPEREMPAT abad yang lalu di Institut Teknologi Bandung (ITB), Teknik Perminyakan bukanlah jurusan yang terlalu popular.
Salah satu isu yang beredar di kalangan calon mahasiswa adalah cadangan minyak akan habis. Jadi, buat apa menjadi sarjana perminyakan.
Kami, anak-anak muda lebih bersemangat untuk belajar teknologi, dan berlomba-lomba mengejar kursi di jurusan yang berkaitan dengan elektronika dan komputer.
Satu dekade kemudian, industri minyak bumi tumbuh luar biasa pesatnya, harganya juga melejit.
Pamor Teknik Perminyakan ikut menanjak juga di ITB. Rupanya, permasalahannya bukan pada cadangan minyak bumi yang ternyata masih berlimpah, tetapi permintaan atau demand.
Pada era 1990-an harga minyak terperosok karena pertumbuhan permintaan energi yang terbatas.
Sementara, dekade 2000-an permintaan terhadap energi terus meroket. Hal ini terutama dipicu oleh bangkitnya perekonomian raksasa dunia, China.
Permintaan terhadap minyak bumi serta sumber energi berbasis fosil lainnya, seperti batu bara, melambung tinggi.
Produsen energi dengan antusias mengeksplorasi potensi cadangaan minyak bumi dan batubara, dan memproduksinya sebanyak mungkin.
Cadangan baru pun semakin banyak ditemukan. Bahkan, cadangan yang tadinya tidak ekonomis untuk dieksploitasi pun, macam shale oil, sekarang menjadi mungkin, karena kemajuan teknologi dan insentif harga yang kian tinggi.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan