JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta tak hanya identik dengan sejarah dan peninggalan kebudayaan Betawi. Jauh sebelumnya, kebudayaan China peranakan atau Tionghoa memiliki tempat tersendiri.
Hingga saat ini, peninggalan kebudayaan Tioghoa masih bisa dirasakan di kawasan-kawasan tertentu. Bahkan, beberapa bangunan tua yang ada masih aktif dan beroperasi.
Peninggalan kebudayaan Tionghoa bersejarah, meninggalkan jejak terutama arsitekturnya.
Kompas.com merangkum beberapa bangunan budaya Tionghoa tertua di Jakarta, berikut tiga di antaranya:
Kelenteng Kim Tek I atau lebih dikenal dengan nama Wihara Dharma Bakti dibangun pada tahun 1650.
Bangunan ini dianggap sebagai kelenteng utama di Jakarta. Luas seluruh lingkungan sekitar 1.200 meter persegi.
Adolf Heuken dalam bukunya Historical Sites of Jakarta, menerangkan, bangunan kelenteng tidak ada yang dibangun tinggi.
Baca juga: Urusan Pencakar Langit, Jakarta Keok dari Kuala Lumpur
Bahkan banguan-bangunan kelenteng biasanya didirikan memanjang atau horisontal dibanding membuatnya vertikal atau mejulang ke atas.
Fitur lain yang biasanya ada pada kelenteng adalah bentuk atapnya yang melengkung dan besar. Selain itu, seluruh bentuk bangunan ditata simetris.
Heuken menuturkan, kelenteng ini telah direstorasi setidaknya sebanyak dua kali yakni pada tahun 1846 dan 1890.
Pada pintu gerbang besar, yang juga pintu masuk ke dalam wihara, tersusun gambar-gambar dan ukiran.
Jalan masuk utama memiliki pintu ganda yang dicat dengan gambar penjaga (men shen). Adapun fasad bangunan didesain dengan cukup rumit.
Heuken menjelaskan, terdapat jendela bundar yang dihiasi ornamen qi lins atau binatang yang menyerupai bentuk unicorn dalam mitologi Eropa, dan dianggap sebagai pertanda baik.
Lalu ada pula relief yang menggambarkan phoenix serta naga serta simbol permasuri dan kaisar.