Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Bangunan Tionghoa Tertua di Jakarta

Kompas.com - 24/01/2020, 12:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta tak hanya identik dengan sejarah dan peninggalan kebudayaan Betawi. Jauh sebelumnya, kebudayaan China peranakan atau Tionghoa memiliki tempat tersendiri.

Hingga saat ini, peninggalan kebudayaan Tioghoa masih bisa dirasakan di kawasan-kawasan tertentu. Bahkan, beberapa bangunan tua yang ada masih aktif dan beroperasi.

Peninggalan kebudayaan Tionghoa bersejarah, meninggalkan jejak terutama arsitekturnya.

Kompas.com merangkum beberapa bangunan budaya Tionghoa tertua di Jakarta, berikut tiga di antaranya:

Wihara Dharma Bakti

Kelenteng Kim Tek I atau lebih dikenal dengan nama Wihara Dharma Bakti dibangun pada tahun 1650.

Bangunan ini dianggap sebagai kelenteng utama di Jakarta. Luas seluruh lingkungan sekitar 1.200 meter persegi.

Adolf Heuken dalam bukunya Historical Sites of Jakarta, menerangkan, bangunan kelenteng tidak ada yang dibangun tinggi.

Baca juga: Urusan Pencakar Langit, Jakarta Keok dari Kuala Lumpur

Bahkan banguan-bangunan kelenteng biasanya didirikan memanjang atau horisontal dibanding membuatnya vertikal atau mejulang ke atas.

Fitur lain yang biasanya ada pada kelenteng adalah bentuk atapnya yang melengkung dan besar. Selain itu, seluruh bentuk bangunan ditata simetris.

Heuken menuturkan, kelenteng ini telah direstorasi setidaknya sebanyak dua kali yakni pada tahun 1846 dan 1890.

Pada pintu gerbang besar, yang juga pintu masuk ke dalam wihara, tersusun gambar-gambar dan ukiran.

Jalan masuk utama memiliki pintu ganda yang dicat dengan gambar penjaga (men shen). Adapun fasad bangunan didesain dengan cukup rumit.

Heuken menjelaskan, terdapat jendela bundar yang dihiasi ornamen qi lins atau binatang yang menyerupai bentuk unicorn dalam mitologi Eropa, dan dianggap sebagai pertanda baik.

Lalu ada pula relief yang menggambarkan phoenix serta naga serta simbol permasuri dan kaisar.

Umat Buddha bersembahyang di Wihara Dharma Bakti, Jakarta, Selasa (29/5/2018). Ibadah ini menjadi bagian dari rangkaian peringatan Tri Suci Waisak 2562BE/2018.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Umat Buddha bersembahyang di Wihara Dharma Bakti, Jakarta, Selasa (29/5/2018). Ibadah ini menjadi bagian dari rangkaian peringatan Tri Suci Waisak 2562BE/2018.
Selain itu, halaman depan dari kuil utama dihiasi dengan patung Bao Gu Shi atau patung singa dan jin lu atau alat pembakar uang.

Sebelum memasuki ruang utama, terdapat tiga kuil kecil yaitu Hui Ze Miao atau kuil untuk leluhur Hakka, Di Cang Wang Miao, dan Xuan Tan Gong.

Keunikan bangunan ini ada pada atap melengkung yang dihiasi dengan ornamen naga serta tokoh-tokoh lainnya.

Baca juga: Sawahlunto, Kawasan Cagar Budaya, dan Orang-orang Rantai

Bagian atap didesain dengan bentuk yang lebih menjorok dan dianggap sebagai fitur yang paling indah pada bangunan ini.

Kelenteng Ancol

Kelenteng Ancol memiliki nama lain Da Bo Gong Miao atau lebih sering disebut Da Bo Gong atau Vihara Bahtera Bhakti.

Rumah ibadah ini merupakan tempat pemujaan kepada Fu-de zheng-shen atau Dewa Tanah dan Kekayaan.

Menurut Heuken, dewa ini tampaknya merupakan sosok yang paling dihormati di Jakarta, terbukti sembilan kelenteng didedikasikan untuk dewa ini beserta istrinya, Bo-pog.

Saat ini, kelenteng tersebut berubah fungsi menjadi tempat pemujaan juru masak Cheng Ho bernama Sampo Soei Soe.

Heuken mengatakan agak sulit mengetahui sejarah dari bangunan ini. Tidak jelas pastinya pada tahun berapa rumah ibadah tersebut dibangun.

Namun berdasarkan catatan pelaut dan pengusaha gula asal Belanda bernama Andries Teisseire, kelenteng ini merupakan salah satu yang tertua di Batavia dan dipercaya didirikan pada pertengahan abad terakhir, atau sekitar tahun 1650.

Baca juga: Menengok Karya Arsitek Tionghoa Liem Bwan Tjie di Indonesia

Tetapi pastinya, pada abad ke-17 dan awal abad ke-18, Ancol merupakan kawasan yang diisi oleh hunian mewah dengan kebun yang luas.

Akan tetapi, area tersebut harus ditinggalkan karena menyebarnya wabah malaria pada waktu itu.

Kemudian pada tahun 1790, bangunan ini dibeli secara resmi oleh orang Tionghoa dari VOC.

Sejak saat itu, rumah ibadah tersebut telah mengalami pemugaran beberapa kali, yakni pada tahun 1839, 1923, 1952, dan 1974.

Bentuk bangunan saat ini diperkirakan berasal dari abad ke-18 atau sebelum itu.

Corak khusus

Sebagai tempat ibadah, tentunya kelenteng ini dihiasi ornamen khas dari China. Namun Heuken membeberkan fakta jika tempat tersebut ternyata memiliki perpaduan corak antara ciri Tionghoa dan Muslim.

Teisseire mengatakan, tempat ini menjadi lokasi suci baik bagi masyarakat Tionghoa. Selain itu, corak kelenteng ini juga memiliki corak Taois karena dikaitkan dengan makam seorang Muslim yang keramat bagi masyarakat Ancol pada waktu itu.

Baca juga: Panduan Warna Keberuntungan Menurut Shio Anda

Di belakang bangunan utama terdapat makam Embah Said Areli Dato Kembang bersama istrinya Ibu Enneng (Pha-Poo).

Mereka berdua dipercaya merupakan orangtua dari Sitiwati dan Mone. Pada bagian atas makam tersebut terdapat kalimat yang tertulis dalam Bahasa Arab.

Kemudian ruang pemujaan utama ditujukan untuk Da Bo Gong dan istrinya Bo Pog. Kemudian di bagian bawah altar utama terdapat makam Sampo Soeisoe dan istrinya Sitiwati.

Lalu pada bagian depan kelenteng terdapat semacam serambi atau atap yang diperluas. Adapun pada bagian muka terdapat dua buah area singa yang terbuat dari batu.

Singa jantan digambarkan menggenggam bola dalam cengkeramannya di sebelah kanan dan singa betina digambarkan dengan anaknya sebelah kiri.

Candranaya

Tampak depan bangunan Gedung Candra Naya di kawasan Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, Selasa (27/1).KOMPAS/RADITYA HELABUMI Tampak depan bangunan Gedung Candra Naya di kawasan Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, Selasa (27/1).
Gedung lain yang menjadi perbincangan saat membahas bangunan Tionghoa di Jakarta adalah Candranaya.

Pada tahun 1800-an rumah yang kini dikenal dengan nama Gedung Candra Naya tersebut dipandang “tinggi” oleh masyarakat sekitar.

Hal ini terlihat dari bentuk atap segi empat dengan kedua ujung yang berbentuk agak meruncing ke atas.

Bentuk atap yangtampak terbelah seperti ekor burungwalet itu disebut yanwei dan menandakan status sosial si pemilik yang tinggi.

Dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Adrian Perkasa, terdapat dua tipe atap yakni ekor walet dan gunungan. Atap ekor walet umumnya digunakan di rumah besar dan kelenteng

Rumah-rumah ini biasanya dimiliki oleh pejabat Tionghoa atau Chineeshe Officieren yang diangkat pemerintah kolonial seperti majoor, kapitein, dan luitenant der Chineezen.

Alwi Shihab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia, menjelaskan, rumah ini pada awalnya merupakan milik Mayor Khouw Im An.

Setelah sang Mayor meninggal, gedung ini menjadi tempat perkumpulan sosials warga Tionghoa bernama Sin Ming Hui. Namanya bertahan hingga tahun 1960-an sebelum akhirnya diubah menjadi Candranaya.

Mengacu pada sebuah catatan yang terpasang di samping pintu gerbang utama, rumah tersebut dikatakan dibangun lebih kurang 200 tahun lalu yakni antara tahun 1806 atau 1867.

Di area belakang rumah terdapat teras, sebuah kolam teratai yang konon merupakan area rekreasi keluarga Mayor Khouw Kim An, dan sebuah pelataran luas berlantai marmer.

Saat ini, Gedung Candranaya merupakan bagian dari supoerbalok yang dikelola oleh PT Modernland Realty Tbk.

Meski begitu keberadaannya masih berada di bawha supervisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Hingga saat ini, rumah tersebut masih dipertahankan arena merupakan cagar budaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com