Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sawahlunto, Kawasan Cagar Budaya, dan Orang-orang Rantai

Kompas.com - 18/01/2019, 18:57 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kota Lama Batubara Sawahlunto merupakan kawasan cagar budaya yang terletak di lembah yang dikelilingi perbukitan dalam jajaran Bukit Barisan.

Wilayah ini terbentang seluas 89,71 hektar, yang meliputi tiga kecamatan yakni Kecamatan Segar, Barangin, dan Kecamatan Silungkang.

Sawahlunto pernah berjaya hampir seabad sebagai kawasan tambang batubara. Pada awal abad ke-20, Sawahlunto berubah menjadi kota tambang yang terdiri dari lima area.

Kelima area itu adalah industri, bisnis dan perdagangan, hunian, administrasi pemerintahan, serta fasilitas kesehatan.

Baca juga: Transaksi Tanah Terluas dalam Sejarah, Louisiana Dijual 15 Juta USD

Perkembangan kota ini dimulai sejak ditemukannya tambang batubara oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhr abad ke-19, tepatnya oleh ahli geologi.

Pada tahun 1868, ahli geologi WH. de Greve. De Greve menemukan adanya potensi besar kandungan batubara di tepi sungai Ombilin.

Pengunjung melihat koleksi Museum Goedang Ransoem di Kota Wisata Tambang Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (22/5/2014). Museum Goedang Ransoem merupakan salah satu peninggalan pemerintah kolonial ketika menjadikan Sawahlunto sebagai kota tambang penghasil batubara sejak tahun 1888.KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA Pengunjung melihat koleksi Museum Goedang Ransoem di Kota Wisata Tambang Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (22/5/2014). Museum Goedang Ransoem merupakan salah satu peninggalan pemerintah kolonial ketika menjadikan Sawahlunto sebagai kota tambang penghasil batubara sejak tahun 1888.
Setelah penemuan, Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan aktivitas hingga pada 1891, penambangan pertama dilakukan di Desa Sungai Durian.

Setahun sesudahnya, produksi pertama dari tambang ini menghasilkan sebanyak 47.833 ton batubara.

Perusahaan tambang batubara Ombilin merupakan satu-satunya di Hindia Belanda. Hingga tahun 1930-an produksi batubara Sawahlunto telah memenuhi 90 persen kebutuhan energi di Hindia Belanda.

Dengan perkembangan infrastruktur dan pertumbuhan sarana industri pertambangan, Sawahlunto menjadi kota besar di pantai barat Sumatera setelah Padang waktu itu.

Baca juga: Pisau dan Selimut, Alat Tukar Jual Beli Tanah Melbourne

Namun, kota ini juga pernah kehilangan harapan saat tambang yang menopang kehidupan kota terus merosot, puncaknya pada 1988. Kondisi itu membuat kota ini pernah dijuluki kota mati.

Hingga akhirnya, sejumlah pihak menawarkan ide untuk memanfaatkan apa yang tersisa dari kegiatan tambang, terutama bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda.

Patung pekerja tambang batu bara di Lubang Mbah Suro di Sawahlunto, Sumatera Barat.KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Patung pekerja tambang batu bara di Lubang Mbah Suro di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Kemudian lahirlah Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Visi Misi Kota Sawahlunto. Dengan adanya perda ini, kawasan kota tua Sawahlunto kemudian diubah menjadi wisata tambang.

Wilayah yang sebelumnya kosong dan tertinggal kini dibenahi, sedangkan sisa kegiatan tambang dikelola agar menjad tujuan wisata.

Selain itu, bangunan-bangunan di sekitar tambang yang sudah menjadi cagar budaya dimanfaatkan untuk menarik pengunjung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com