JAKARTA, KOMPAS.com - Kota Lama Batubara Sawahlunto merupakan kawasan cagar budaya yang terletak di lembah yang dikelilingi perbukitan dalam jajaran Bukit Barisan.
Wilayah ini terbentang seluas 89,71 hektar, yang meliputi tiga kecamatan yakni Kecamatan Segar, Barangin, dan Kecamatan Silungkang.
Sawahlunto pernah berjaya hampir seabad sebagai kawasan tambang batubara. Pada awal abad ke-20, Sawahlunto berubah menjadi kota tambang yang terdiri dari lima area.
Kelima area itu adalah industri, bisnis dan perdagangan, hunian, administrasi pemerintahan, serta fasilitas kesehatan.
Baca juga: Transaksi Tanah Terluas dalam Sejarah, Louisiana Dijual 15 Juta USD
Perkembangan kota ini dimulai sejak ditemukannya tambang batubara oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhr abad ke-19, tepatnya oleh ahli geologi.
Pada tahun 1868, ahli geologi WH. de Greve. De Greve menemukan adanya potensi besar kandungan batubara di tepi sungai Ombilin.
Setahun sesudahnya, produksi pertama dari tambang ini menghasilkan sebanyak 47.833 ton batubara.
Perusahaan tambang batubara Ombilin merupakan satu-satunya di Hindia Belanda. Hingga tahun 1930-an produksi batubara Sawahlunto telah memenuhi 90 persen kebutuhan energi di Hindia Belanda.
Dengan perkembangan infrastruktur dan pertumbuhan sarana industri pertambangan, Sawahlunto menjadi kota besar di pantai barat Sumatera setelah Padang waktu itu.
Baca juga: Pisau dan Selimut, Alat Tukar Jual Beli Tanah Melbourne
Namun, kota ini juga pernah kehilangan harapan saat tambang yang menopang kehidupan kota terus merosot, puncaknya pada 1988. Kondisi itu membuat kota ini pernah dijuluki kota mati.
Hingga akhirnya, sejumlah pihak menawarkan ide untuk memanfaatkan apa yang tersisa dari kegiatan tambang, terutama bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda.
Wilayah yang sebelumnya kosong dan tertinggal kini dibenahi, sedangkan sisa kegiatan tambang dikelola agar menjad tujuan wisata.
Selain itu, bangunan-bangunan di sekitar tambang yang sudah menjadi cagar budaya dimanfaatkan untuk menarik pengunjung.