Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Bangunan Tionghoa Tertua di Jakarta

Kompas.com - 24/01/2020, 12:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Teisseire mengatakan, tempat ini menjadi lokasi suci baik bagi masyarakat Tionghoa. Selain itu, corak kelenteng ini juga memiliki corak Taois karena dikaitkan dengan makam seorang Muslim yang keramat bagi masyarakat Ancol pada waktu itu.

Baca juga: Panduan Warna Keberuntungan Menurut Shio Anda

Di belakang bangunan utama terdapat makam Embah Said Areli Dato Kembang bersama istrinya Ibu Enneng (Pha-Poo).

Mereka berdua dipercaya merupakan orangtua dari Sitiwati dan Mone. Pada bagian atas makam tersebut terdapat kalimat yang tertulis dalam Bahasa Arab.

Kemudian ruang pemujaan utama ditujukan untuk Da Bo Gong dan istrinya Bo Pog. Kemudian di bagian bawah altar utama terdapat makam Sampo Soeisoe dan istrinya Sitiwati.

Lalu pada bagian depan kelenteng terdapat semacam serambi atau atap yang diperluas. Adapun pada bagian muka terdapat dua buah area singa yang terbuat dari batu.

Singa jantan digambarkan menggenggam bola dalam cengkeramannya di sebelah kanan dan singa betina digambarkan dengan anaknya sebelah kiri.

Candranaya

Gedung lain yang menjadi perbincangan saat membahas bangunan Tionghoa di Jakarta adalah Candranaya.

Pada tahun 1800-an rumah yang kini dikenal dengan nama Gedung Candra Naya tersebut dipandang “tinggi” oleh masyarakat sekitar.

Hal ini terlihat dari bentuk atap segi empat dengan kedua ujung yang berbentuk agak meruncing ke atas.

Bentuk atap yangtampak terbelah seperti ekor burungwalet itu disebut yanwei dan menandakan status sosial si pemilik yang tinggi.

Dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Adrian Perkasa, terdapat dua tipe atap yakni ekor walet dan gunungan. Atap ekor walet umumnya digunakan di rumah besar dan kelenteng

Rumah-rumah ini biasanya dimiliki oleh pejabat Tionghoa atau Chineeshe Officieren yang diangkat pemerintah kolonial seperti majoor, kapitein, dan luitenant der Chineezen.

Alwi Shihab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia, menjelaskan, rumah ini pada awalnya merupakan milik Mayor Khouw Im An.

Setelah sang Mayor meninggal, gedung ini menjadi tempat perkumpulan sosials warga Tionghoa bernama Sin Ming Hui. Namanya bertahan hingga tahun 1960-an sebelum akhirnya diubah menjadi Candranaya.

Mengacu pada sebuah catatan yang terpasang di samping pintu gerbang utama, rumah tersebut dikatakan dibangun lebih kurang 200 tahun lalu yakni antara tahun 1806 atau 1867.

Di area belakang rumah terdapat teras, sebuah kolam teratai yang konon merupakan area rekreasi keluarga Mayor Khouw Kim An, dan sebuah pelataran luas berlantai marmer.

Saat ini, Gedung Candranaya merupakan bagian dari supoerbalok yang dikelola oleh PT Modernland Realty Tbk.

Meski begitu keberadaannya masih berada di bawha supervisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Hingga saat ini, rumah tersebut masih dipertahankan arena merupakan cagar budaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com