JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu sebuah utas bersambung di media sosial Twitter menyulut pro dan kontra dari warganet.
Akun @thenampale menyorot maraknya instalasi, signage, maupun anjungan bertema luar negeri di berbagai tempat wisata khususnya di Bali.
Baca juga: Mengapa Notre Dame Disebut Ikon Arsitektur Gotik?
"Semakin ke sini semakin banyak ruang-ruang publik di Bali memunculkan ikon ikon yang jauh dari Identitas Bali, asumsi gue seh ini tujuannya IG feed's purposes, tapi ini gejala buruk buat edukasi dan penghargaan atas budaya orang-orang sebelum kita," tulis Robbie Baria di akun Twitternya.
"Saya lihat sebenarnya mungkin lebih dari lima tahun belakangan mulai mengadopsi papan nama dan signage dengan ukuran besar di banyak tempat," ujar Robbie kepada Kompas.com, Rabu (26/6/2019).
Robbie menuturkan, setelah itu banyak tempat-tempat khususnya di Bali yang mulai mengadopsi tema serupa. Hal ini membuat wajah Bali di beberapa tempat berubah.
Baca juga: SMF Biayai 305 Homestay di Empat Destinasi Wisata Prioritas
Robbie menyebut, di beberapa tempat pengunjung bisa berpose di depan deretan kayu yang dipasak layaknya gerbang kuil Jepang atau anjungan bertema kincir angin Belanda.
Selain itu, ia juga menyoroti banyak tempat wisata yang kerap menampilkan signage dengan ornamen yang kurang selaras dengan budaya Bali.
"Di sini kesel karena ini udah keluar dari konteks pengelolaan wisata kultural menurut saya karena penting buat Bali sebenarnya, karena Bali dalam tanda kutip dijual sebagai cultural destination di luar pantai dan alamnya," ucap dia.
Sehingga penempatan anjungan atau signage yang menurutnya asal dapat mengurangi edukasi budaya ke pengunjung. Tak hanya di Bali, menurut Robbie, tren ini juga muncul di berbagai wilayah lain.
Baca juga: Louka, Desa Wisata yang Viral Berkat Nenek 92 Tahun
"Orang datang ke Bali kalau sebenarnya market lokal dengan ambience yang sama, ya bikin aja theme park enggak usah di semua tempat berlomba-lomba pengen punya ayunan, pengen punya signage love, jomblo, sama ayunan," ungkap Robbie.
"Jadi kayak generic banget semua tempat berlomba-lomba pengen ayunan," lanjut dia.
Serbuan instalasi dan signage ini menurutnya, jauh dari identitas dan budaya setempat. Sehingga jika dibiarkan bisa mengurangi edukasi dan penghargaan atas budaya lokal.
"Mungkin mereka pengen dapetin chance yang sama kayak di Jepang, di Belanda, India dengan miniaturnya, tapi kan what's the point?" lanjut Robbie.