Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikon-ikon Wisata ala Mancanegara di Daerah, "What's The Point?"

Kompas.com - 26/06/2019, 20:30 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu sebuah utas bersambung di media sosial Twitter menyulut pro dan kontra dari warganet.

Akun @thenampale menyorot maraknya instalasi, signage, maupun anjungan bertema luar negeri di berbagai tempat wisata khususnya di Bali.

Baca juga: Mengapa Notre Dame Disebut Ikon Arsitektur Gotik?

"Semakin ke sini semakin banyak ruang-ruang publik di Bali memunculkan ikon ikon yang jauh dari Identitas Bali, asumsi gue seh ini tujuannya IG feed's purposes, tapi ini gejala buruk buat edukasi dan penghargaan atas budaya orang-orang sebelum kita," tulis Robbie Baria di akun Twitternya.

-Tangkap layar Twitter @thenampale -
Kicauannya ini di-retweet lebih dari 10.000 kali dan disukai lebih dari 8.000 pengguna Twitter lain.

"Saya lihat sebenarnya mungkin lebih dari lima tahun belakangan mulai mengadopsi papan nama dan signage dengan ukuran besar di banyak tempat," ujar Robbie kepada Kompas.com, Rabu (26/6/2019).

Robbie menuturkan, setelah itu banyak tempat-tempat khususnya di Bali yang mulai mengadopsi tema serupa. Hal ini membuat wajah Bali di beberapa tempat berubah.

Baca juga: SMF Biayai 305 Homestay di Empat Destinasi Wisata Prioritas

Robbie menyebut, di beberapa tempat pengunjung bisa berpose di depan deretan kayu yang dipasak layaknya gerbang kuil Jepang atau anjungan bertema kincir angin Belanda.

Selain itu, ia juga menyoroti banyak tempat wisata yang kerap menampilkan signage dengan ornamen yang kurang selaras dengan budaya Bali.

"Di sini kesel karena ini udah keluar dari konteks pengelolaan wisata kultural menurut saya karena penting buat Bali sebenarnya, karena Bali dalam tanda kutip dijual sebagai cultural destination di luar pantai dan alamnya," ucap dia.

Taman Jinja di Karangasem, Bali.Dok. Taman Jinja Bali Taman Jinja di Karangasem, Bali.
Secara umum, Robbie mengatakan, di Bali sendiri sudah ada pakem untuk menempatkan ornamen dekoratif bukan hanya sebagai fungsi estetik namun juga fungsi ritual.

Sehingga penempatan anjungan atau signage yang menurutnya asal dapat mengurangi edukasi budaya ke pengunjung. Tak hanya di Bali, menurut Robbie, tren ini juga muncul di berbagai wilayah lain.

Baca juga: Louka, Desa Wisata yang Viral Berkat Nenek 92 Tahun

"Orang datang ke Bali kalau sebenarnya market lokal dengan ambience yang sama, ya bikin aja theme park enggak usah di semua tempat berlomba-lomba pengen punya ayunan, pengen punya signage love, jomblo, sama ayunan," ungkap Robbie. 

"Jadi kayak generic banget semua tempat berlomba-lomba pengen ayunan," lanjut dia.

Serbuan instalasi dan signage ini menurutnya, jauh dari identitas dan budaya setempat. Sehingga jika dibiarkan bisa mengurangi edukasi dan penghargaan atas budaya lokal.

"Mungkin mereka pengen dapetin chance yang sama kayak di Jepang, di Belanda, India dengan miniaturnya, tapi kan what's the point?" lanjut Robbie.

Untuk itu, dia berharap ke depannya masyarakat dan komunitas yang memiliki keresahan yang sama bersama-sama memberikan sumbangsih ide.

Misalnya menciptakan instalasi yang tak hanya menarik namun juga membawa nilai-nilai kultural yang mengangkat budaya lokal.

Ilustrasi tempat wisata dengan miniatur kincir angin BelandaKompas.com/LUTHFIA AYU AZZANELA Ilustrasi tempat wisata dengan miniatur kincir angin Belanda
Secara arsitektur, munculnya instalasi dan signage yang sedang tren ini menurut arsitek Aditya W Fitrianto, tidak memberikan sumbangan apa-apa khususnya untuk kemajuan arsitektur di negeri ini.

"Semoga hal ini tidak berulang dan menjadi tren wisata di provinsi-provinsi lain," ujarnya.

Namun jika dilihat dari kacamata pariwisata, jika ingin mengembangkan anjungan dan instalasi modern khususnya dari negara lain bisa membuat taman wisata khusus.

Baca juga: Dua Karya Arsitektur Indonesia Masuk Nominasi Aga Khan Award 2019

"Ide taman mini untuk kepentingan wisata sebenarnya menarik, tinggal temanya yang perlu cerdas," ucap Aditya.

Dia memberi contoh seperti di Taman Mini Indonesia Indah yang menyajikan kumpulan khazanah arsitektur tradisional dari setiap daerah di Indonesia.

Ada pula miniatur kumpulan kota di dunia seperti di Volendam di Belanda atau taman mini arsitektur semua etnis di China dan tempat di dunia seperti di Shenzhen.

"Selama itu dalam tempat tertutup dan sebagai kawasan wisata, bukan kawasan nyata seperti perumahan atau perkantoran mungkin masih tidak apa-apa. Toh, nanti masyarakat yang menentukan bagus tidaknya sehingga diminati atau bahkan jadi gagal," ujar Aditya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com