Standar waktu 7 menit ditentukan berdasarkan rekomendasi para dokter dengan mengacu kasus stroke.
Ketika masyarakat terserang stroke, nyawanya masih dapat diselamatkan apabila dapat ditangani sebelum 9 menit.
"Berkali-kali kita berhasil menyelamatkan orang stroke karena kita di bawah 9 menit. Di atas 9 menit, mati dia. Bukan Tuhan sih, tapi katanya dokter gitu. Teorinya dokter gitu, pokoknya batang otak putus, kalau pertolongannya lebih dari 9 menit karena itu kita pakai standar 7 menit," tutur Risma.
Baca juga: Kota Cerdas Bukan Hanya Berbasis Teknologi, Juga Kecerdasan Warganya
Sejak 2016, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Surabaya berada pada ketegori sangat tinggi dengan skor 80,38.
Setahun kemudian, IPM Surabaya tumbuh 0,86 persen menjadi 81,07 dan mencatatkannya sebagai pemilik IPM tertinggi di Jawa Timur.
Badan Pusat Statistik Surabaya mencatat, angka peluang hidup bayi yang baru lahir mencapai 73,88 tahun, meningkat 0,01 tahun.
Sementara anak-anak usia tujuh tahun memiliki peluang untuk bersekolah selama 14,41 tahun, meningkat 0,42 tahun.
Adapun penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rat telah menempuh pendidikan selama 10,45 tahun, juga meningkat 0,01 tahun.
Sedangkan pengeluaran per kapita yang disesuaikan dengan harga konstan 2012 telah mencapai Rp 16,726 juta atau meningkat Rp 431 ribu dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal lain yang tak kalah penting adalah daya beli masyarakat. Risma membandingkan kondisi tahun 2010 dimana tingkat daya beli rendah masyarakat mencapai 34 persen.
Pada 2016 tingkat daya beli rendah itu telah turun menjadi 8 persen dan 5 persen pada tahun 2018. Adanya peningkatan kemampuan daya beli masyarakat tidak terlepas dari upaya Pemkot Surabaya dalam menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Risma mengaku melakukan pendekatan berbasis usia untuk mengatasi persoalan pekerjaan ini. Misalnya, mereka yang sudah cukup tua diberi pekerjaan sebagai penjaga toilet umum.
Sementara bagi yang masih mudah dan memiliki tenaga yang cukup, diberdayakan sebagai tenaga bantu untuk mengeruk saluran yang kotor.
"Kemudian yang saya lakukan adalah bagaimana dari keluarga miskin itu kita ajari bagaimana dia bisa mengakses ekonomi. Dan saat ini, dari saya mulai 89 kelompok, saat ini ada 9.500 kelompok terbentuk. Dan sekarang sudah beberapa diantaranya eksport dengan omzet banyak yang satu bulan di atas Rp 1 miliar," ungkap dia.