JAKARTA, KOMPAS.com - Laju urbanisasi masyarakat dalam beberapa waktu terakhir cukup pesat. Di satu sisi, urbanisasi memiliki dampak positif, namun di sisi lain potensial berdampak negatif bagi perkembangan wilayah perkotaan.
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Sri Hartoyo mengatakan, Indonesia merupakan negara di Asia dengan tingkat urbanisasi tertinggi.
"Pada 2035, jumlah masyarakat yang tinggal di kawasan urban mencapai 68 persen. Pertumbuhan ini menjadi peluang yang harus ditangkap," kata Sri dalam diskusi tentang smart city dengan Kementerian Pertanahan, Infrastruktur dan Transportasi Korea Selatan di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Baca juga: Urusan Kawasan Kumuh, Jakarta Bisa Belajar dari Paris
Ia mengaku, urbanisasi memang memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun bila tidak dikendalikan, urbanisasi justru akan menimbulkan kantung-kantung pemukiman kumuh di perkotaan.
"Kita tahu bahwa tmunculnya pemukiman kumuh merupakan dampak ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses layanan infrastruktur dasar. Terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," tutur Hartoyo.
Infrastruktur dasar itu meliputi akses terhadap layanan penyediaan air minum, sanitasi, sistem pengelolaan air limbah dan persampahan hingga drainase pemukiman.
Namun di lain pihak, kekurangan ini seharusnya menjadi sebuah peluang bagi berbagai pihak untuk membantu pemerintah dalam merancang pembangunan kota yang berkelanjutan.
"TOD tengah menjadi perhatian pemerintah terutama dalam menyajikan hunian terjangkau bagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah," kata dia.
Baca juga: Smart City, Cara Korsel Kurangi Ketidaknyamanan Tinggal di Kota
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.