Infrastruktur Pakistan kurang dimanfaatkan karena ledakan ekonomi yang diharapkan pemerintah tak kunjung terjadi.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Pakistan memang telah berhasil mengatasi krisis neraca pembayaran dan mencapai beberapa ukuran stabilitas ekonomi makro.
Pemerintah juga telah memangkas defisit anggaran, sebagian dengan cara menggenjot penghasilan pajak dan sebagian lagi dengan memotong subsidi energi.
World Bank mencatat, penghasilan domestik bruto (PDB) Pakistan mengaalami tren peningkatan dalam lima tahun terakhir.
Pada 2011, PDB Pakistan sebesar 213,59 miliar dollar AS dan angka tersebut terus melonjak menjadi 283,66 miliar dollar AS pada 2016 lalu.
Akan tetapi, kerap terjadinya aksi terorisme dan pemberontakan mencoreng capaian-capaian itu. Kondisi itu mengurangi minat investor, baik asing maupun domestik.
(Baca: Bom Meledak di Sebuah Pasar di Pakistan, 6 Tewas)
Negara ini juga kerap menjalankan praktik industri yang kurang efisien dan sering terjadi kartel, yang membuat kalah saing dengan India dan Bangladesh.
Tekstil yang merupakan komoditi ekspor terbesar yakni 60 persen, telah menyusut selama bertahun-tahun. Selain itu, masih banyak lagi pekerjaan yang perlu dilakukan pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja terdidik.
Kerja sama bilateral
Di balik pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan pemerintah Pakistan, Sharif dan jajarannya menyematkan harapan untuk terus memacu infrastruktur sebagai oli pembangunan.
Paling tidak, skema investasi senilai 46 miliar dollar AS yang dikenal sebagai Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) menjadi angin segar bagi Pakistan.
Kerja sama tersebut melingkupi sejumlah bidang, termasuk infrastruktur pembangkit listrik.
Pemerintah memang menganggap penting pembangkit listrik itu untuk menambal kekurangan listrik yang kronis.
Namun, sejumlah pengamat khawatir Pakistan justru harus berjuang membayar kembali utang tersebut, terutama jika devisa dari ekspor terus menyusut.