KompasProperti – Pembangunan infrastruktur tak selalu diikuti dengan besarnya manfaat yang diperoleh. Apa yang terjadi di Pakistan dapat menjadi pembelajaran.
Hampir 20 tahun setelah dibuka, jalan tol pertama di negara ini masih relatif sepi. Hanya ada segelintir kendaraan yang melintas di jalur sepanjang 375 kilometer antara Islamabad dan Lahore tersebut.
Pengemudi dapat berkendara dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam tanpa melihat kendaraan lain.
Hal itu disebabkan kedua kota tersebut telah terhubung dengan Grand Trunk Road, jalan raya yang 90 kilometer lebih pendek dan gratis.
Meskipun begitu, infratruktur jalan tol senilai 1,2 miliar dollar AS tersebut diklaim sebagai salah karya paling membanggakan dari Nawaz Sharif, Perdana Menteri Pakistan kala jalan tol tersebut dioperasikan.
Sebagaimana dilansir laman The Economist, Kamis (19/1/2017), Sharif dikenal tak pernah jemu membicarakan kesuksesan dirinya dalam membangun jalan tol itu.
Bahkan, ia kian gembira ketika diperbandingkan dengan Sher Shah Suri, seorang penguasa abad ke-16 yang merenovasi Grand Trunk Road.
Gaung hasil karyanya itu turut membuat Sharif kembali meraih kekuasaannya pada 2013 lalu.
Strategi yang diluncurkan Sharif kala itu adalah kampanye kesuksesan pembangunan jalan tol dan janji untuk membangun lebih banyak infrastruktur di Pakistan.
(Baca: Diduga Terlibat Korupsi, PM Pakistan Akan Diperiksa)
Ia bahkan menjanjikan kereta cepat yang memungkinkan warga Pakistan meninggalkan kota Karachi saat subuh dan tiba di kota Peshawar, lebih dari 1.000 kilometer ke arah utara, pada petang hari.
Hal-hal di atas merupakan kepercayaan Sharif dan partainya, Liga Muslim Pakistan Nawaz (PML-N), bahwa investasi di bidang infrastruktur adalah cara praktis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Sharif berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan sejumlah proyek besar sebelum pemilihan umum berikutnya, yang dijadwalkan pada pertengahan 2018.
Proyek infrastruktur itu antara lain jalur kereta metro di Lahore dan bandara baru untuk Islamabad.
Kemungkinan yang dapat terjadi adalah bandara baru tersebut (yang telah dilanda masalah, termasuk landasan pacu yang dibangun terlalu berdekatan) akan kurang bermanfaat.
Tak berbeda nasibnya seperti bandara lainnya di Pakistan, yang mayoritas modern dan luas.
Efek kurang terasa
Dari sekian banyak pembangunan infratruktur yag dicanangkan pemerintah Pakistan, efeknya tak terasa signifikan dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Angka kemiskinan tetap tinggi di negara tersebut.
Menurut riset terkini Asian Development Bank (ADB), sebanyak 29,5 persen dari 200 juta penduduk Pakistan masih berada di bawah garis kemiskinan.
Bahkan, masih terdapat 8,6 persen penduduk dengan penghasilan di bawah 2 dollar AS (sekitar Rp 27.000) per harinya.
Infrastruktur Pakistan kurang dimanfaatkan karena ledakan ekonomi yang diharapkan pemerintah tak kunjung terjadi.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Pakistan memang telah berhasil mengatasi krisis neraca pembayaran dan mencapai beberapa ukuran stabilitas ekonomi makro.
Pemerintah juga telah memangkas defisit anggaran, sebagian dengan cara menggenjot penghasilan pajak dan sebagian lagi dengan memotong subsidi energi.
World Bank mencatat, penghasilan domestik bruto (PDB) Pakistan mengaalami tren peningkatan dalam lima tahun terakhir.
Pada 2011, PDB Pakistan sebesar 213,59 miliar dollar AS dan angka tersebut terus melonjak menjadi 283,66 miliar dollar AS pada 2016 lalu.
Akan tetapi, kerap terjadinya aksi terorisme dan pemberontakan mencoreng capaian-capaian itu. Kondisi itu mengurangi minat investor, baik asing maupun domestik.
(Baca: Bom Meledak di Sebuah Pasar di Pakistan, 6 Tewas)
Negara ini juga kerap menjalankan praktik industri yang kurang efisien dan sering terjadi kartel, yang membuat kalah saing dengan India dan Bangladesh.
Tekstil yang merupakan komoditi ekspor terbesar yakni 60 persen, telah menyusut selama bertahun-tahun. Selain itu, masih banyak lagi pekerjaan yang perlu dilakukan pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja terdidik.
Kerja sama bilateral
Di balik pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan pemerintah Pakistan, Sharif dan jajarannya menyematkan harapan untuk terus memacu infrastruktur sebagai oli pembangunan.
Paling tidak, skema investasi senilai 46 miliar dollar AS yang dikenal sebagai Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) menjadi angin segar bagi Pakistan.
Pemerintah memang menganggap penting pembangkit listrik itu untuk menambal kekurangan listrik yang kronis.
Namun, sejumlah pengamat khawatir Pakistan justru harus berjuang membayar kembali utang tersebut, terutama jika devisa dari ekspor terus menyusut.
Jika itu terjadi, pemerintah mesti mengejar kembali pelaku industri yang telah bangkrut untuk membayar tagihan mereka serta memotong subsidi yang diberikan. Tentunya, langkah-langkah tersebut amat tidak populer.
Selain meningkatkan pasokan listrik Pakistan, CPEC juga akan menghubungkan daratan China dengan kota Gwadar, sebuah pelabuhan air dalam di Laut Arab. Tujuannya adalah menciptakan jalur perdagangan baru yang menguntungkan.
(Baca: Di Balik Ambisi China Kobarkan Kembali Jalur Sutra...)
Jalan Raya Karakoram yang dibangun pada 1960-an untuk menghubungkan China dengan Pakistan juga akan ditingkatkan sebagai bagian dari koridor kerja sama ekonomi kedua negara.
Meskipun, lagi-lagi sejumlah pengamat pesimistis jalur itu akan banyak digunakan penduduk kedua negara.
Mereka yang skeptis mengatakan bahwa Xinjiang, wilayah paling barat China, masih terlalu miskin untuk memanfaatkan jaringan transportasi yang lebih baik dengan Pakistan.
Pesona yang menyilaukan
Lijian Zhao, seorang diplomat China, mengatakan, China sadar bahwa Pakistan membutuhkan lebih dari sekadar infrastruktur besar jika ingin berkembang.
Pemerintah Pakistan tengah berjuang untuk menyelesaikan banyak hal, misalnya kudeta militer.
Namun, warga setempat tampaknya masih terkesan dengan proyek baru yang berkilau, meskipun mungkin mereka tak pernah menggunakannya.
Dia mencurahkan sumber daya untuk membangun rangkaian jalan raya berlebih dan tanpa batas di Lahore, ibu kota provinsi.
Meskipun, jalan raya itu lebih banyak menguntungkan warga kelas atas yang mampu membeli mobil.
Namun, semua itu tentu ada batasnya. Khawaja Saad Rafique, Menteri Perkeretaapian Pakistan, pernah mengakui ke parlemen bahwa negara tersebut tidak akan mampu membangun kereta peluru.
"Ketika kami bertanya kepada pihak China tentang hal itu, mereka justru menertawakan kami," katanya.
Terlepas dari segala pro-kontra terhadap kebijakannya yang fokus pada bidang infrastruktur, Sharif akan tetap teguh pada pendiriannya.
“Pakistan saat ini menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia,” tegas dia kepada media lokal, Geo News.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.