Konsep yang jelas
Menyediakan rumah layak huni dan terjangkau untuk rakyat, jelas membutuhkan visi, misi, serta konsep yang jelas. Tidak sekadar menjual program gimmick seperti Program Uang Muka atau down payment (DP) 0 Persen.
Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menuturkan, pemerintah provinsi (pemprov)-nya harus menyiapkan program-program perumahan dan permukiman yang komprehensif dan terpadu.
Program DP 0 Persen hanya bisa ditujukan untuk rumah komersial dengan skema rumah milik.
"Urusan perumahan tidak bisa diselesaikan dengan solusi pembiayaan DP 0 persen," tambah dia.
Jadi, DP 0 persen seharusnya tidak dijadikan sebagai program utama, melainkan digunakan jika diperlukan saja.
"Mereka harus bisa menghadirkan keterpaduan antar-sektor seperti permukiman, pertanahan dan pengairan, maupun keterpaduan antar-tingkatan Pemprov DKI dan pemerintah pusat," ujar Jehansyah.
Selain itu, Jakarta juga perlu memiliki lembaga seperti Housing and Development Board (HDB), dan Urban Redevelopment Authority (URA) yang berjalan di Singapura.
"Kedua lembaga pemerintah ini dikenal sangat profesional dan bekerja dengan dedikasi yang tinggi untuk kota-kota yang berkelanjutan," ucap dia.
Lebih dari itu, kata Jehansyah, Pemprov DKI harus bisa menyediakan solusi untuk menyelesaikan kekurangan rumah, terlebih menata kampung kumuh, memukimkan kembali warga tergusur, penyediaan kawasan baru, dan juga rumah susun sewa (rusunawa) baru.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang dan Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi) Anton R Santosa juga mengatakan hal senada.
Dia pesimistis Program Uang Muka atau Down Payment (DP) 0 Persen bisa direalisasikan. Pasalnya, di dalam program tersebut banyak biaya yang harus disubsidi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Tentu saja, itu bakal memberatkan APBD DKI Jakarta.
"Secara prinsip sangat tidak memungkinkan. Karena, dalam program itu ada biaya notaris, biaya bank, provisi, dan lain-lain. Nah, itu saja harus disubsidi oleh pemerintah. Padahal itu untuk kepentingan akta jual beli," jelas Anton kepada KompasProperti, Sabtu (22/4/2017).
Selain itu, Anton juga mempertanyakan banyaknya anggaran untuk menalangi subsidi rumah tersebut lantaran DP-nya sebesar Rp 52,5 juta untuk rumah susun (rusun) seharga Rp 350 juta.
Persoalan berikutnya terkait aspek legal lahan yang digunakan untuk membangun hunian. Di Jakarta, sudah tidak tersedia lahan kosong dengan harga murah. Kalau pun tersisa, adalah milik Pemprov DKI.
"Mana ada pengembang yang mau membangun properti di atas aset Pemprov? Karena propertinya nanti nggak bisa dijual. kalau dijual, mereka bisa digugat di pengadilan. Ini masalah lagi," kata Anton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.