JAKARTA, KompasProperti - Mencari rumah, ibarat mencari pasangan hidup. Tidak saja harus sesuai dengan impian, dan kondisi sosial, melainkan juga pendapatan.
Kondisi kantong bisa dibilang merupakan hal yang paling menentukan. Bila sudah mendapatkan yang sesuai impian, kantong-lah yang kemudian menyelesaikan urusan.
Sebaliknya, impian yang sudah disusun sedemikian rupa bakal buyar seketika jika dana yang dimiliki tak memungkinkan.
Baca: Simak Simulasi Cicilan Per bUlan DP 0 Persen
Kejadian seperti ini seringkali dialami kelas menengah tanggung. Mereka yang berpendapatan Rp 7 juta ke atas, namun masih di bawah Rp 10 juta per bulan kerap kepentok batas-batas psikologis ketika akan membeli rumah.
Kenapa disebut kelas menengah tanggung? Karena ambang penghasilan maksimal yang bisa disubsidi pemerintah adalah Rp 4 juta untuk pembeli rumah tapak pertama, dan Rp 7 juta untuk pembeli rumah susun pertama.
Mereka yang berpenghasilan maksimal Rp 4 juta hingga Rp 7 juta dikategorikan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebagai sasaran program subsidi alias Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pemerintah.
Sementara mereka yang berpenghasilan di atas 7 juta, mulai dari Rp 7,05 juta tidak berhak atas subsidi FLPP. Di sisi lain, jika harus membeli rumah dengan harga di atas ambang subsidi, mereka tak akan sanggup.
Padahal, populasi sejenis Randy dan kelas menengah tanggung lainnya tak kalah banyak dibanding MBR. Data Bank Dunia menunjukkan kelas menengah berpendapatan Rp 5,2 juta (389 dollar AS) hingga Rp 7,8 juta (584 dollar AS) sebanyak 11,7 persen dari total 245 juta jiwa.
Jumlah lebih sedikit atau 5 persen di bawahnya adalah masyarakat yang berpenghasilan antara Rp 7,8 juta (584 dollar AS) hingga Rp 13 juta (974 dollar AS).
Kelas menengah Indonesia, kata Bank Dunia, terus tumbuh dari nol persen penduduk pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada 2011 atau setara dengan lebih dari 130 juta orang.
Pada tahun 2030, jumlah kelas menengah diperkirakan akan melesat menjadi 141 juta orang.
Harga selangit
Situs Rumah123 pernah melakukan survei harga rumah yang bisa diakses kalangan menengah tanggung ini.
Menurut Country Head Rumah123 Ignatius Untung, kenaikan pendapatan kelas menengah tidak bisa mengejar laju peningkatan harga rumah.
Jika ditelusuri secara historis sejak 2009-2012 yang merupakan era ledakan (booming) properti, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen, atau 50 persen per tahun.
Dengan estimasi kenaikan minimal 20 persen per tahun, harga rumah yang saat ini dipatok Rp 300 juta akan menjadi Rp 750 juta pada 2020.
"Bandingkan dengan kisaran penghasilan kelas menengah tanggung. Kenaikan 5 persen saja sudah merupakan anugerah yang terindah," kata Untung.
Untuk dapat mencicil rumah harga termurah Rp 300 juta, dibutuhkan pendapatan minimal Rp 7,5 juta per bulan.
Sedangkan harga di atasnya yakni Rp 350 juta hingga Rp 400 juta dibutuhkan pendapatan setidaknya Rp 9 juta.
Di mana kita bisa mendapatkan rumah seharga Rp 300 juta di Jakarta yang bisa diakses oleh kelas menengah tanggung?
"Jangan bayangkan rumah di gang-gang senggol yang hanya bisa diakses dengan jalan kaki atau satu kendaraan roda dua," kata Untung.
Bayangkanlah rumah yang "diidam-idamkan" lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang, atau setidaknya dapat meningkatkan kualitas hidup penghuninya.
Fasilitas penunjang di sini, tentu saja bukan sekelas yang ada di perumahan elite Kota Wisata, BSD City, Summarecon Serpong, Lippo Village, atau Pondok Indah.
Fasilitas penunjang tersebut adalah fasilitas minimal yang biasanya disediakan pengembang untuk perumahan sederhana, seperti taman bermain, jalur pedestrian, dan akses lingkungan yang bisa dilalui kendaraan roda empat.
Dari survei yang dilakukan KompasProperti dalam beberapa hari terakhir, tidak ada pengembang perumahan tapak di Jakarta yang membanderol harganya sekitar Rp 300 juta per unit.
Perumahan Metland Menteng saja yang berlokasi di ujung Jakarta Timur, harganya sudah mencapai Rp 1,9 miliar untuk luas bangunan 60 meter persegi dan luas lahan 160 meter persegi.
Perumahan Jakarta Garden City, juga berlokasi di ujung Jakarta Timur, dibanderol Rp 1,9 miliar per unit terkecil.
Kedua proyek ini merupakan perumahan tapak di dalam kota Jakarta yang masih dipasarkan dan dikembangkan hingga saat ini.
Harga ini ditetapkan untuk tunai keras, sementara untuk bisa diakses melalui KPR, harganya bisa mencapai Rp 535 juta.
Di Greenland Residence, juga di Kabupaten Bogor, hunian seluas 38/72 dipatok seharga Rp 552,5 juta tunai, dan Rp 562,5 juta dengan KPR.
Di Grand Depok City, Depok, harga rumah tipe terbaru klaster Anggrek 2 sudah menyentuh angka Rp 800 jutaan.
Konsep yang jelas
Menyediakan rumah layak huni dan terjangkau untuk rakyat, jelas membutuhkan visi, misi, serta konsep yang jelas. Tidak sekadar menjual program gimmick seperti Program Uang Muka atau down payment (DP) 0 Persen.
Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menuturkan, pemerintah provinsi (pemprov)-nya harus menyiapkan program-program perumahan dan permukiman yang komprehensif dan terpadu.
"Urusan perumahan tidak bisa diselesaikan dengan solusi pembiayaan DP 0 persen," tambah dia.
Jadi, DP 0 persen seharusnya tidak dijadikan sebagai program utama, melainkan digunakan jika diperlukan saja.
"Mereka harus bisa menghadirkan keterpaduan antar-sektor seperti permukiman, pertanahan dan pengairan, maupun keterpaduan antar-tingkatan Pemprov DKI dan pemerintah pusat," ujar Jehansyah.
Selain itu, Jakarta juga perlu memiliki lembaga seperti Housing and Development Board (HDB), dan Urban Redevelopment Authority (URA) yang berjalan di Singapura.
"Kedua lembaga pemerintah ini dikenal sangat profesional dan bekerja dengan dedikasi yang tinggi untuk kota-kota yang berkelanjutan," ucap dia.
Lebih dari itu, kata Jehansyah, Pemprov DKI harus bisa menyediakan solusi untuk menyelesaikan kekurangan rumah, terlebih menata kampung kumuh, memukimkan kembali warga tergusur, penyediaan kawasan baru, dan juga rumah susun sewa (rusunawa) baru.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang dan Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi) Anton R Santosa juga mengatakan hal senada.
Dia pesimistis Program Uang Muka atau Down Payment (DP) 0 Persen bisa direalisasikan. Pasalnya, di dalam program tersebut banyak biaya yang harus disubsidi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Tentu saja, itu bakal memberatkan APBD DKI Jakarta.
"Secara prinsip sangat tidak memungkinkan. Karena, dalam program itu ada biaya notaris, biaya bank, provisi, dan lain-lain. Nah, itu saja harus disubsidi oleh pemerintah. Padahal itu untuk kepentingan akta jual beli," jelas Anton kepada KompasProperti, Sabtu (22/4/2017).
Selain itu, Anton juga mempertanyakan banyaknya anggaran untuk menalangi subsidi rumah tersebut lantaran DP-nya sebesar Rp 52,5 juta untuk rumah susun (rusun) seharga Rp 350 juta.
Persoalan berikutnya terkait aspek legal lahan yang digunakan untuk membangun hunian. Di Jakarta, sudah tidak tersedia lahan kosong dengan harga murah. Kalau pun tersisa, adalah milik Pemprov DKI.
"Mana ada pengembang yang mau membangun properti di atas aset Pemprov? Karena propertinya nanti nggak bisa dijual. kalau dijual, mereka bisa digugat di pengadilan. Ini masalah lagi," kata Anton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.