JAKARTA, KOMPAS.com - Tinggal di apartemen dekat pusat kota atau tempat beraktivitas sehari-hari, merupakan pilihan paling rasional untuk saat ini. Selain praktis, tinggal aparteman juga meningkatkan waktu kebersamaan dengan keluarga.
Itulah motivasi utama kalangan urban rela tinggal di "rumah bertumpuk". Pertimbangan utama lainnya adalah efisiensi waktu, dan biaya.
Namun, bagi Anda yang sudah atau baru akan memutuskan tinggal di apartemen, sebaiknya memahami aturan, dan biaya-biaya yang harus dibayar. Tentu saja, apa yang anda bayarkan akan sangat terkait dan memengaruhi kenyamanan tinggal di apartemen.
Berbeda dengan rumah tapak (landed house), tinggal di apartemen pada kenyataannya jauh lebih mahal. Ini dimungkinkan karena gedung apartemen harus dikelola secara profesional oleh suatu badan yang disebut badan pengelola. Untuk menciptakan profesionalitas itu, tentu saja membutuhkan biaya besar.
Badan pengelola sendiri tugasnya adalah menjalankan operasionalisasi gedung dan menjaga ketertiban umum di lingkungan apartemen. Selain juga hal-hal umum lainnya macam memelihara fasilitas bersama, seperti jalan kompleks, taman dan peralatan vital lift, panel-panel listrik, dan saluran air bersih.
Yang sering menjadi pertanyaan adalah, darimana badan pengelola mendapatkan dana untuk membiayai perawatan dan gaji karyawan? Tak lain dan tak bukan, dana tersebut diperoleh dari Iuaran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yang ditarik dari pemilik/penghuni apartemen secara proporsional, sesuai dengan luas unit.
Sayangnya, penentuan besaran tarif IPL ini selalu menjadi polemik antara pengurus Penghimpunan Penghuni dan Pemilik Satuan Rumah Susun (P3SRS) dengan pemilik/penghuni apartemen. Terlebih ketika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan harga-harga material dan operasional gedung meningkat.
Untuk menutupi defisit biaya perawatan gedung, tarif IPL pun mau tak mau harus disesuaikan atau dinaikkan. Tetapi kenaikan IPL tak selalu berjalan mulus. Karena ada saja pemilik/penghuni yang menolak, bahkan tidak jarang berujung dengan demonstrasi.
Penentuan tarif IPL
Bagaimana menentukan tarif IPL? Menurut Ketua Komite Budget Inner City Management (ICM), Hendra Rahardja, untuk menentukan besaran tarif IPL, P3SRS terlebih dahulu harus tahu pendapatan apa saja yang selama ini diperoleh apatemen.
Pendapatan bisa diperoleh dari sewa ruang milik P3SRS. Misalnya ATM, sewa pancang Base Transceiver Station (BTS), atau pemasangan iklan di area komersial lingkungan apartemen.
Kemudian, P3SRS merinci biaya-biaya rutin yang dikeluarkan atau biaya operasional, muali dari biaya karyawan, umum, kantor, representasi (sumbangan), utilitas, listrik, perawatan, tenaga alih daya (outsourcing), asuransi dan lain-lain.
“Semua biaya itu dikalkulasi, termasuk pendapatan di luar IPL yang nantinya ditentukan kemudian. Pendapatan tersebut akan mengurangi biaya IPL, sehingga selisihnya itu yang akan dibebankan, dibagi rata dengan luas dari unit masing-masing. Dari hasil itulah nilai IPL didapatkan,” kata Hendra kepada Kompas.com, pekan lalu.
Senada dengan Hendra, SOP Manager ICM Hidayat menjelaskan, sebelum menetapkan tarif IPL, karakteristik gedung juga harus diperhatikan. Gedung yang memiliki banyak fasilitas, beban IPL-nya pasti lebih tinggi. Selain itu, faktor usia gedung dan luasan (jumlah) unit turut berpengaruh terhadap besar kecilnya tarif IPL.
“Biasanya, sebelum dikelola building management, pengembang yang membangun apartemen sudah menetapkan besaran IPL yang tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), berapa per meter perseginya yang harus mereka bayar. Itulah dasar awal tarif yang dipakai oleh pengurus P3SRS,” jelas Hidayat.