Menurut Ketua DPD REI Aceh, Zulfikar, lima tahun pasca tsunami, geliat pembangunan di bumi Serambi Mekkah itu sudah mulai terasa. Hal ini terindikasi dari munculnya hotel baru, perumahan baru, pusat belanja, ruko, dan lain sebagainya.
"Pasar properti Aceh terus tumbuh positif, karena didukung situasi keamanan dan politik yang kondusif. Kami dengan suka cita menyambut kondisi ini dengan terus melakukan pembangunan properti, baik perumahan subsidi, perumahan non-subsidi, maupun properti komersial seperti hotel, ruko, pusat belanja, ruang konvensi, dan lain-lain," papar Zulfikar kepada Kompas.com, Jumat (25/7/2014).
Dia melanjutkan, kemampuan membangun pengembang anggota DPD REI Aceh setiap tahun sekitar 1.000 hingga 1.500 unit rumah subsidi dan non-subsidi. Sementara kebutuhan lebih dari itu, yakni sekitar 5.000 unit.
"Ketimpangan itu merupakan peluang bagi kami untuk membangun lebih banyak lagi hunian. Kami berani menargetkan rumah terbangun sebanyak 5.000 unit tahun ini karena gairah para pengembang yang giat membangun," tandas Zulfikar.
Rumah menengah
Selain tingginya kebutuhan dan terbatasnya pasokan, hal menarik yang terjadi di Aceh saat ini adalah pasar kelas menengah.
Menurut Zulfikar, kelas menengah Aceh-lah yang selama ini menyerap pasokan rumah yang dibangun pengembang anggota DPD REI.
"Rumah yang paling diminati seharga Rp 300 juta hingga Rp 600 juta per unit. Sementara kelas menengah bawah sekitar Rp 118 juta hingga Rp 300 juta per unit," ungkapnya.
Rumah menengah, kata Zulfikar, laku keras dan mengalami perluasan pasar tidak hanya di kota-kota besar seperti Banda Aceh, melainkan juga di Lhokseumawe, Sabang, dan beberapa kabupaten lainnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.