Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Melemah, Bagaimana Nasib Sektor Properti di Daerah?

Kompas.com - 18/11/2013, 17:46 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tren penurunan dan perlambatan laju pertumbuhan properti yang dimulai sejak kuartal II 2013 di berbagai kawasan di Jakarta, menimbulkan kekhawatiran bahwa hal serupa juga bakal terjadi di daerah. Mengingat, fenomena aktivitas properti di daerah mulai dijangkiti 'virus' investasi yang bersifat spekulatif.

Padahal, sifat investasi properti adalah jangka panjang. Berbeda dengan investasi di pasar keuangan atau pun pasar lainnya yang memungkinkan dana berubah likuid dengan cepat. 

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengatakan, unsur spekulasi dalam sektor properti memang tinggi. Terlebih saat pasar properti pada kurun tiga tahun terakhir dengan laju pertumbuhan 30 hingga 40 persen, sangat menggoda investor.

"Usai krisis finansial global, pasar properti Indonesia tampil dengan kinerja mengesankan. Suplai memadai, permintaan tumbuh signifikan, harga juga melonjak. Indikator ekonomi dan pertambahan kelas menengah mendukung iklim investasi sektor properti menjadi sangat kondusif," urai Ali.

Mekanisme pre sales, lanjut Ali, ikut menentukan dan memengaruhi pesatnya pertumbuhan properti. Terutama dilihat dari lonjakan harga. Pra penjualan sudah dilakukan bahkan saat proyek masih berupa gambar. Ketika sudah memasuki tiang pancang dan kemudian struktur hingga rampung, kenaikan harga bisa terjadi lebih dari 20 kali dengan persentase maksimal 50 persen.

Menurut Ali, ketika harga sudah sangat tinggi dan tidak dapat diakses oleh kalangan menengah sebagai pendorong utama bergeraknya pasar properti di Indonesia, maka kondisi tersebut sudah harus diwaspadai. Di beberapa kawasan seperti Serpong, Alam Sutera, Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk, sudah terjadi gejala "kelebihan harga" atau disebut over price

Nah, bagaimana dengan kondisi pasar properti di daerah? Apakah mengalami gejala serupa?

Surbaya, contohnya. Pasar properti Kota Pahlawan ini memang khas dan menarik. Jika di beberapa kawasan "produktif" lainnya di Indonesia seperti Jadebotabek, transaksi paling aktif dialami oleh properti bersegmen menengah dan menengah bawah, di Surabaya justru terjadi di kelas premium. Rumah-rumah mewah yang ditawarkan di Citraland (Grup Ciputra), Graha Famili (Intiland Development), Bukit Darmo Golf Estate (Bukit Darmo Property), dan MoCa (Grup Dian Istana) seharga lebih dari Rp 1,5 miliar, laris terserap pasar.

Prinsipal Era Tjandra Surabaya Daniel Sunyoto mengaku pihaknya kerap dihubungi konsumen yang mencari properti (rumah tapak) dengan kisaran harga Rp 1,5 miliar-Rp 15 miliar. Bahkan, ia mengungkapkan beberapa kali membukukan transaksi di atas Rp 25 miliar per unit untuk rumah-rumah di Graha Famili dan Dian Istana.

"Perbedaan perilaku konsumen kelas menengah dan premium adalah motivasi membeli. Kelas premium biasanya membeli rumah untuk didiami entah oleh anak-anaknya, orang tua  atau mereka sendiri. Sementara kelas menengah, justru untuk investasi. Berbeda dengan kelas bawah, yang jelas merupakan pasar riil perumahan," imbuh Daniel.

Tingginya harga-harga rumah di Surabaya, khususnya wilayah barat dipicu oleh lonjakan harga lahan hingga 50 persen. Saat ini, harga lahan sudah mencapai Rp 8 juta-Rp 10 juta per meter persegi dari sebelumnya Rp 5 juta-Rp 7 juta/m2.

Sementara untuk sektor perkantoran, Surabaya tampil terdepan dengan menampakkan kemajuan signifikan. Kendati total pasoknya hanya 278.598 meter persegi atau 4 persen dari total pasok perkantoran Jakarta, tetapi permintaan terus menguat.

Saat ini hingga 2017 mendatang terdapat 12 gedung perkantoran baru yang akan menghias cakrawala Surabaya. Luas total bangunan mencapai 318.821 meter persegi. Satu di antaranya  merupakan pencakar langit Tunjungan Plaza V setinggi 50 lantai yang dikembangkan Pakuwon Group di superblok Tunjungan City. 

Tunjungan Plaza V terdiri atas beragam fungsi mulai dari perkantoran, pusat belanja, dan kondominium mewah. Ruang perkantorannya saat ini dipatok seharga Rp 26,5 juta per meter persegi.

Harga setinggi itu, menurut Daniel, mencerminkan pertumbuhan yang wajar. Karena Surabaya punya potensi pasar yang kuat. Ke depan, pertumbuhan akan terus berlanjut, tren permintaan juga meningkat baik apartemen, rumah tapak, maupun perkantoran. 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau