JAKARTA, KOMPAS.com - Tren penurunan dan perlambatan laju pertumbuhan properti yang dimulai sejak kuartal II 2013 di berbagai kawasan di Jakarta, menimbulkan kekhawatiran bahwa hal serupa juga bakal terjadi di daerah. Mengingat, fenomena aktivitas properti di daerah mulai dijangkiti 'virus' investasi yang bersifat spekulatif.
Padahal, sifat investasi properti adalah jangka panjang. Berbeda dengan investasi di pasar keuangan atau pun pasar lainnya yang memungkinkan dana berubah likuid dengan cepat.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengatakan, unsur spekulasi dalam sektor properti memang tinggi. Terlebih saat pasar properti pada kurun tiga tahun terakhir dengan laju pertumbuhan 30 hingga 40 persen, sangat menggoda investor.
"Usai krisis finansial global, pasar properti Indonesia tampil dengan kinerja mengesankan. Suplai memadai, permintaan tumbuh signifikan, harga juga melonjak. Indikator ekonomi dan pertambahan kelas menengah mendukung iklim investasi sektor properti menjadi sangat kondusif," urai Ali.
Mekanisme pre sales, lanjut Ali, ikut menentukan dan memengaruhi pesatnya pertumbuhan properti. Terutama dilihat dari lonjakan harga. Pra penjualan sudah dilakukan bahkan saat proyek masih berupa gambar. Ketika sudah memasuki tiang pancang dan kemudian struktur hingga rampung, kenaikan harga bisa terjadi lebih dari 20 kali dengan persentase maksimal 50 persen.
Menurut Ali, ketika harga sudah sangat tinggi dan tidak dapat diakses oleh kalangan menengah sebagai pendorong utama bergeraknya pasar properti di Indonesia, maka kondisi tersebut sudah harus diwaspadai. Di beberapa kawasan seperti Serpong, Alam Sutera, Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk, sudah terjadi gejala "kelebihan harga" atau disebut over price.
Nah, bagaimana dengan kondisi pasar properti di daerah? Apakah mengalami gejala serupa?
Surbaya, contohnya. Pasar properti Kota Pahlawan ini memang khas dan menarik. Jika di beberapa kawasan "produktif" lainnya di Indonesia seperti Jadebotabek, transaksi paling aktif dialami oleh properti bersegmen menengah dan menengah bawah, di Surabaya justru terjadi di kelas premium. Rumah-rumah mewah yang ditawarkan di Citraland (Grup Ciputra), Graha Famili (Intiland Development), Bukit Darmo Golf Estate (Bukit Darmo Property), dan MoCa (Grup Dian Istana) seharga lebih dari Rp 1,5 miliar, laris terserap pasar.
Prinsipal Era Tjandra Surabaya Daniel Sunyoto mengaku pihaknya kerap dihubungi konsumen yang mencari properti (rumah tapak) dengan kisaran harga Rp 1,5 miliar-Rp 15 miliar. Bahkan, ia mengungkapkan beberapa kali membukukan transaksi di atas Rp 25 miliar per unit untuk rumah-rumah di Graha Famili dan Dian Istana.
"Perbedaan perilaku konsumen kelas menengah dan premium adalah motivasi membeli. Kelas premium biasanya membeli rumah untuk didiami entah oleh anak-anaknya, orang tua atau mereka sendiri. Sementara kelas menengah, justru untuk investasi. Berbeda dengan kelas bawah, yang jelas merupakan pasar riil perumahan," imbuh Daniel.
Tingginya harga-harga rumah di Surabaya, khususnya wilayah barat dipicu oleh lonjakan harga lahan hingga 50 persen. Saat ini, harga lahan sudah mencapai Rp 8 juta-Rp 10 juta per meter persegi dari sebelumnya Rp 5 juta-Rp 7 juta/m2.
Sementara untuk sektor perkantoran, Surabaya tampil terdepan dengan menampakkan kemajuan signifikan. Kendati total pasoknya hanya 278.598 meter persegi atau 4 persen dari total pasok perkantoran Jakarta, tetapi permintaan terus menguat.
Saat ini hingga 2017 mendatang terdapat 12 gedung perkantoran baru yang akan menghias cakrawala Surabaya. Luas total bangunan mencapai 318.821 meter persegi. Satu di antaranya merupakan pencakar langit Tunjungan Plaza V setinggi 50 lantai yang dikembangkan Pakuwon Group di superblok Tunjungan City.
Tunjungan Plaza V terdiri atas beragam fungsi mulai dari perkantoran, pusat belanja, dan kondominium mewah. Ruang perkantorannya saat ini dipatok seharga Rp 26,5 juta per meter persegi.
Harga setinggi itu, menurut Daniel, mencerminkan pertumbuhan yang wajar. Karena Surabaya punya potensi pasar yang kuat. Ke depan, pertumbuhan akan terus berlanjut, tren permintaan juga meningkat baik apartemen, rumah tapak, maupun perkantoran.
Sementara di Medan, sebagai representasi kemajuan wilayah Sumatera bagian Utara, akselerasi pertumbuhan kian melesat saat pengembangan infrastruktur dilakukan dan juga pengoperasian Bandara International Kuala Namu. Jenis properti yang tumbuh signifikan adalah pusat belanja, perhotelan dan juga apartemen.
Dengan hadirnya bandara ini, strategi penguatan konektivitas nasional dalam program masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I) makin terlihat. Karena itulah, beberapa pengembang seperti Agung Podomoro Group, Lippo Group, dan bahkan Riyadh Group Indonesia berekspansi ke kota ini.
Presiden Direktur Riyadh Group Indonesia, Bally Saputra, mengatakan, Medan dipilih sebagai lokasi peruntungan bisnis karena memberi peluang besar mengembangkan hunian vertikal. Hal itu tecermin dari adanya pertumbuhan yang cukup signifikan terhadap permintaan unit hunian vertikal di Sumatera Utara.
"Pertumbuhan angka permintaannya cukup besar. Hal ini karena adanya pergeseran gaya hidup, menyusul makin terbatasnya lahan kosong untuk pembangunan rumah tapak," kata Bally.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia Kantor Wilayah IX Sumatera Utara dan Aceh, data kredit pemilikan apartemen (KPA) di Sumatera Utara pada Agustus 2013 menunjukkan adanya lonjakan tajam hingga 128,27 persen atau sebesar Rp 4,5 miliar. Angka tersebut naik dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 1,9 miliar.
Lain lagi dengan Balikpapan. Menurut Deputy Director Sales and Marketing Cowell Development, pengembang Borneo Paradiso, Ferry S Supandji, pasar properti di Balikpapan, Kalimantan Timur, masih menunjukkan tren positif. Indikatornya adalah catatan penjualan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. "Selain itu, daya kompetisi terbilang tinggi," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (18/11/2013).
Dengan demikian, kendati secara umum pasar properti melemah, kata Ferry, pihaknya tetap optimistis Borneo Paradiso dapat menjual lebih banyak lagi produknya.
Dari catatan Marketing Manager Borneo Paradiso, Arum Pusparani, pada 2011, penjualan mencapai Rp 180 miliar dengan rerata rumah terjual sebanyak 20 unit per bulan. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 200 miliar pada 2012 dengan rerata rumah terjual 15 unit namun volume nilai penjualan lebih tinggi.
"Untuk tahun ini, kami berharap tingkat penjualan akan menyamai atau bahkan tumbuh 15-20 persen. Karena kami tidak sekadar melansir klaster baru Mahogany Townhouse serentang Rp 1,2 miliar-Rp 2 miliar per unit juga ruko seharga Rp 996 juta-Rp1,9 juta per unit," tutur Arum.
Menariknya, proporsi pembeli dengan profil investor dalam struktur konsumen Borneo Paradiso, sebanyak 30 persen. Menurut Arum, rumah-rumah yang mereka beli, umumnya disewakan kembali kepada karyawan setingkat middle level manager untuk tipe 45-60 meter persegi dan kepada level eksekutif atau ekspatriat untuk rumah seluas 90 hingga 106 meter persegi.
Jika di pasar perdana, rumah tipe 45 pada 2009 masih dipatok seharga Rp 200 jutaan, maka kini mencapai Rp 581 juta per unit untuk klaster Rosewood Residence. Sementara di pasar sekunder, harga sewa mencapai Rp 13 juta untuk rumah mungil dan Rp 20 juta-Rp 25 juta per tahun untuk tipe besar.
Sedangkan profil pembeli bermotif investasi di Borneo Bay Residence, apartemen yang dikembangkan Agung Podomoro Land, sebesar 40 persen. Mereka, menurut Marketing Manager, Orri Arbani, membeli dengan cara tunai bertahap (cash installment).
"Pembeli sebagian besar berasal dari kota-kota di luar Balikpapan, seperti Samarinda, Bontang, Tenggarong, Sangatta, Tarakan, bahkan dari Jakarta dan Surabaya. Sementara dari Balikpapan sendiri sebagian besar sudah memiliki rumah pertama. Jadi, apartemen adalah rumah kedua, ketiga bahkan instrumen investasi," papar Orri.
Mereka, lanjut Orri, tergiur pertumbuhan harga yang didongkrak oleh pembangunan proyek yang menampakkan progres signifikan. Pembangunan konstruksi Borneo Bay Residence akan dimulai pada 7 Desember 2014 mendatang di atas lahan reklamasi, bersamaan dengan pembangunan pusat belanja.
"Sejak Juni 2013 hingga saat ini, harga apartemen mengalami kenaikan lima kali dengan persentase 12 persen. Harga perdana dimulai dari Rp 500 juta untuk tipe studio hingga Rp 2,2 miliar untuk dua kamar tidur seluas 97 meter persegi. Dari 1.100 unit yang dipasarkan, sudah terjual 70 persen," ungkap Orri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.