Direktur Value Add Service NAI Indonesia, Bernanto Soerojo, mengatakan, sejatinya praktik spekulasi tersebut tidak terjadi saat ini saja. Tahun 2003-2004 silam, ketika proyek ini pertama kali dilansir, para spekulan sangat berperan dalam mengubah harga lahan dan properti menjadi sangat tinggi, untuk tidak dikatakan tak terkendali.
"Mereka beroperasi sebelum proyek pembangunan Monorel Jakarta ini secara resmi diumumkan dan dimulai konstruksinya. Sejarah mencatat, gembar gembor proyek ini hanya menyuburkan praktik spekulasi. Lihat saja di kawasan Kuningan atau ruas HR Rasuna Said, harga lahan dan propertinya sudah terlalu tinggi. Saat ini transkasi jual lahan mencapai Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per meter persegi dan sewa mencapai 30 dollar AS (Rp 297.525) per meter persegi di luar biaya servis," ungkap Bernanto kepada Kompas.com, di Jakarta, Senin (8/7/2013).
Sementara jika dilihat harga riil (real price) tidak akan setinggi itu. Eforia Monorel Jakarta telah terbukti secara efektif mampu menjadi "arena" bagi para spekulan memainkan harga properti dan lahan.
"Selama Monorel Jakarta belum beroperasi, maka praktik spekulasi akan terus terjadi. Berbeda halnya dengan Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok yang mampu memberikan kepastian time table pembangunan MRT-nya. Terobosan melalui solusi transportasi massal yang dilakukan dapat membungkam sepak terjang spekluan. Sehingga harga properti yang terbentuk merupakan harga riil," papar Bernanto.
Lepas dari itu, konsultan properti memproyeksikan harga lahan dan properti di kawasan yang dilintasi proyek Monorel Jakarta akan mengalami lonjakan.
Director Office Services Colliers International Bagus Adikusumo mengatakan, pembangunan Monorel Jakarta dapat menyebabkan perubahan fundamental. Perubahan tersebut terutama terjadi pada persebaran (distribusi) pembangunan properti.
"Distribusi kian merata. Tidak hanya berkumpul di satu titik pertumbuhan. Properti yang dilintasi atau dekat dengan monorail atau pun MRT lain, juga akan melonjak harganya," imbuh Bagus.