Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puluhan Ribu Rumah Ambruk, Pakar: Pemerintah Paling Bertanggung Jawab

Kompas.com - 21/08/2018, 20:00 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Puluhan ribu rumah rusak akibat gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dalam menetapkan standar rumah tidak layak huni.

Arsitek Akanoma Yu Sing mengatakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama ini telah membuat berbagai terobosan keliru terkait rumah yang dianggap 'lebih layak huni' bagi masyarakat.

Baca juga: Bergaya Jepang, Rumah Ini Didesain Tahan Gempa

Misalnya, dengan mengganti material alami pada struktur rumah adat dengan beton atau batu-bata. Sementara, struktur rumah adat umumnya disusun dengan menggunakan material kayu, rotan, hingga bambu.

Namun, material tersebut dinilai pemerintah kurang mumpuni, sehingga diganti dengan material yang lebih kuat. Ironisnya, penggantian itu justru menimbulkan persoalan baru, yakni tidak tahan gempa.

Pengungsi beristirahat dalam tenda darurat di lapangan Menggala, Desa Menggala, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Rabu (8/8/2018). Berdasarkan data terkini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat, jumlah korban meninggal dunia akibat gempa bumi berkekuatan 7 pada skala richter (SR) di Lombok bertambah menjadi 131 dari sebelumnya 105 orang.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Pengungsi beristirahat dalam tenda darurat di lapangan Menggala, Desa Menggala, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Rabu (8/8/2018). Berdasarkan data terkini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat, jumlah korban meninggal dunia akibat gempa bumi berkekuatan 7 pada skala richter (SR) di Lombok bertambah menjadi 131 dari sebelumnya 105 orang.
"@kemenpupr sangat bertanggung jawab atas hal ini. Sudah terlalu lama standar rumah layak huni mengingkari kecerdasan nenek moyang (dalam beradaptasi hidup di jalur cincin api) & kekayaan sumber material alami bumi pertiwi yang harus digunakembangkan dan dilestarikan," tulis Yu Sing dalam akun Instagramnya, @iniyusing, Senin (20/8/2018).

Temuan di Senaru, Lombok Utara, sebuah rumah adat yang materialnya telah diganti dengan batu bata hancur pascagempa bermagnitudo 7 mengguncang wilayah tersebut beberapa waktu lalu.

Sementara, rumah adat lain yang terdapat di sebelahnya yang masih menggunakan material alami berupa kayu, bambu, dan veratap sirap, masih berdiri kokoh.

Baca juga: Dihantam Gempa Magnitudo 7, Rumah Adat di Lombok Ini Tetap Kokoh

Yu Sing mengatakan, kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah saat menyalurkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) adalah anggaran yang sangat rendah.

Kritikan Yu SingInstagram / @iniyusing Kritikan Yu Sing

Pada akhirnya, masyarakat dipaksa mengikuti standar layak huni yang salah. Sementara, masyarakat penerima bantuan umumnya tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membuat struktur rumah yang lebih layak huni.

"Sudah sering kita mendengar korban jiwa dari sejak gempa-gempa yang lalu di berbagai daerah yang tertimpa rumah yang roboh. Tembok bata menuntut struktur yang lebih mahal dan juga tergantung kepada pabrik semen dan baja," lanjut Yu Sing.

"Sementara bambu menjadi bagian dari tanah dan ekonomi rakyat banyak yang sangat mungkin untuk mandiri bila dikelola komunal dan kebergantungannya pada material alam membuat alam pun lebih lestari," tegas Yu Sing.

Di saat negara lain berlomba-lomba untuk mengembalikan kelestarian lingkungan, Yu Sing menambahkan, pemerintah justru berpikir bahwa material alami tidak bisa dimanfaatkan untuk membuat struktur yang lebih tahan gempa.

Contoh Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) yang telah dibangun Kementerian PUPR.Kementerian PUPR Contoh Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) yang telah dibangun Kementerian PUPR.
Sementara di sisi lain, menurut dia, banyak serat pohon yang bisa dikembangkan sebagai material penting yang lebih kuat dibandingkan beton atau batu bata.

"Sudah tidak tahu lagi gimana caranya teriakin pemerintah @kemenpupr. Karena di kementerian yg sama setiap tahun ada seminar nasional arsitektur tradisional. Tapi kebijakan standar rumah tidak layak huni tetap saja sesat," tulis Yu Sing.

"Bingung. Kapan kementerian mau tobat?" tutup Yu Sing.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau