JAKARTA, KOMPAS.com - Puluhan ribu rumah rusak akibat gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dalam menetapkan standar rumah tidak layak huni.
Arsitek Akanoma Yu Sing mengatakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama ini telah membuat berbagai terobosan keliru terkait rumah yang dianggap 'lebih layak huni' bagi masyarakat.
Baca juga: Bergaya Jepang, Rumah Ini Didesain Tahan Gempa
Misalnya, dengan mengganti material alami pada struktur rumah adat dengan beton atau batu-bata. Sementara, struktur rumah adat umumnya disusun dengan menggunakan material kayu, rotan, hingga bambu.
Namun, material tersebut dinilai pemerintah kurang mumpuni, sehingga diganti dengan material yang lebih kuat. Ironisnya, penggantian itu justru menimbulkan persoalan baru, yakni tidak tahan gempa.
Temuan di Senaru, Lombok Utara, sebuah rumah adat yang materialnya telah diganti dengan batu bata hancur pascagempa bermagnitudo 7 mengguncang wilayah tersebut beberapa waktu lalu.
Sementara, rumah adat lain yang terdapat di sebelahnya yang masih menggunakan material alami berupa kayu, bambu, dan veratap sirap, masih berdiri kokoh.
Baca juga: Dihantam Gempa Magnitudo 7, Rumah Adat di Lombok Ini Tetap Kokoh
Yu Sing mengatakan, kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah saat menyalurkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) adalah anggaran yang sangat rendah.
Pada akhirnya, masyarakat dipaksa mengikuti standar layak huni yang salah. Sementara, masyarakat penerima bantuan umumnya tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membuat struktur rumah yang lebih layak huni.
"Sudah sering kita mendengar korban jiwa dari sejak gempa-gempa yang lalu di berbagai daerah yang tertimpa rumah yang roboh. Tembok bata menuntut struktur yang lebih mahal dan juga tergantung kepada pabrik semen dan baja," lanjut Yu Sing.
"Sementara bambu menjadi bagian dari tanah dan ekonomi rakyat banyak yang sangat mungkin untuk mandiri bila dikelola komunal dan kebergantungannya pada material alam membuat alam pun lebih lestari," tegas Yu Sing.
Di saat negara lain berlomba-lomba untuk mengembalikan kelestarian lingkungan, Yu Sing menambahkan, pemerintah justru berpikir bahwa material alami tidak bisa dimanfaatkan untuk membuat struktur yang lebih tahan gempa.
"Sudah tidak tahu lagi gimana caranya teriakin pemerintah @kemenpupr. Karena di kementerian yg sama setiap tahun ada seminar nasional arsitektur tradisional. Tapi kebijakan standar rumah tidak layak huni tetap saja sesat," tulis Yu Sing.
"Bingung. Kapan kementerian mau tobat?" tutup Yu Sing.
Untuk diketahui, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, tak kurang dari 71.962 unit rumah rusak dengan klasifikasi 32.016 unit rusak berat, 3.173 unit rusak sedang, dan 36.773 rusak ringan.
Untuk memulihkannya, paling tidak memerlukan anggaran sebesar Rp 6,02 triliun serta waktu hingga mencapai dua tahun.
Baca juga: Gempa Lombok, Kerugian Sektor Perumahan Tembus Rp 6,02 Triliun
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran Rp 50 juta per kepala keluarga yang terkena dampak.
Anggaran tersebut akan digunakan unguk rehabilitasi dan rekonstruksi rumah yang rusak dengan sistem swakelola guna membangun rumah tahan gempa.
Baca juga: Rp 50 Juta untuk Setiap Kepala Keluarga Lombok Renovasi Rumah
Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, sistem swakelola dilakukan sekaligus untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dalam membangun konstruksi tahan gempa.
"Kami sudah kirimkan 20 contoh bangunan Risha (Rumah Instan Sederhana Sehat) bersama tim fasilitator 150 orang yang akan mendampingi masyarakat untuk membangun rumahnya, dan masih ada yang akan menyusul lagi," kata Basuki di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.