KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah memperkenalkan sertifikat tanah elektronik berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021.
Permen ini merupakan bagian dari transformasi digital untuk meningkatkan keamanan kepemilikan tanah dan mengurangi praktik mafia tanah.
Dengan teknologi digital dan sistem penyimpanan berlapis, sertifikat ini menawarkan perlindungan hukum yang lebih kuat.
Hingga 2025, Kementerian ATR/BPN menargetkan 120 juta sertifikat elektronik terbit.
Baca juga: Nusron Laporkan Mafia Tanah yang Tipu Mbah Tupon ke Polisi
Sertifikat tanah elektronik adalah dokumen digital kepemilikan tanah yang menggantikan sertifikat fisik (kertas) dengan format PDF yang dilengkapi tanda tangan elektronik dan disimpan dalam sistem blockchain ATR/BPN.
Sertifikat ini memiliki kekuatan hukum sama dengan sertifikat fisik, sesuai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Keunggulannya meliputi keamanan yang tinggi karena dapat mencegah pemalsuan dan duplikasi.
Proses pengajuan dan verifikasi lebih cepat melalui aplikasi Sentuh Tanahku, data tersimpan di Pusat Data Nasional (PDN) dan sistem Kementerian ATR/BPN, sehingga mengurangi risiko kehilangan.
Selain itu, diklaim anti mafia tanah, karena ransparansi data mengurangi manipulasi oleh oknum.
Sertifikat elektronik diterapkan bertahap di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Banyuwangi, dengan rencana ekspansi ke seluruh Indonesia.
Syarat Mengajukan Sertifikat Tanah Elektronik
Untuk mengajukan sertifikat tanah elektronik, Anda harus memenuhi syarat berikut, baik untuk konversi sertifikat fisik maupun penerbitan baru:
Akses Digital:
Sertifikat kertas tidak wajib dikonversi kecuali ada transaksi (jual beli, balik nama, atau hipotek). Demikian halnya jika sertifikat rusak, dan hilang.
Tidak ada biaya konversi sertifikat fisik ke elektronik, kecuali untuk penerbitan baru atau biaya tambahan (misalnya, pengukuran).