Pertama, kata Aloysius, pembangunan sarana dan prasarana berupa bagunan geopark di kawasan Loh Buaya bertentangan dengan hakikat keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi.
Baca juga: Percantik Pulau Rinca, Pemerintah Kucurkan Rp 69,96 Miliar
Hal ini sebagaimana tertuang melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 306 Tahun 1992 tentang Pembentukan Taman Nasional Komodo.
Dalam SK tersebut dijelaskan, Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi alami yang utuh dari satwa komodo dan ekosistem lainnya, baik di darat maupun di laut.
Kedua, model pembangunan sarana dan prasarana geopark dengan cara betonisasi dapat menghancurkan bentang alam kawasan Loh Buaya.
Seperti tercantum dalam Permen LHK P.13/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Wisata Alam di Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Penguasahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
"Ketiga, pembangunan sumur bor sebagai bagian dari sarpras ini juga akan sangat membawa dampak buruk bagi matinya sumber-sumber air yang selama ini menjadi sumber penghidupan satwa dan tumbuhan yang menghuni kawasan Loh Buaya dan sekitarnya," lanjut Aloysius.
Pembangunan tersebut juga berpotensi menghancurkan desain besar industri pariwisata dan merugikan para pelaku wisata dan masyarakat Manggarai Barat.
"Pariwisata berbasis alam (nature based tourism) sebagai jualan utama pariwisata Labuan Bajo-Flores di mata dunia internasional akan rusak," cetus Alysius.
Kelima, Formapp Manggarai Barat menolak karena pembangunan sarana dan prasarana ini hanya untuk melayani kepentingan investor yang hendak berinvestasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Bersamaan dengan penolakan ini, Formapp Manggarai Barat juga menolak penghancuran ruang hidup Komodo oleh invasi bisnis pariwisata yang dilakukan oleh PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca, PT Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dan Komodo, PT Synergindo di Pulau Tatawa, PT Flobamor di Pulau Komodo dan Padar, serta alih fungsi Pulau Muang dan Bero.
Pertama, menuntut pemerintah segera menghentikan rencana pembangunan sarana dan prasarana geopark di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca.
Kedua, menuntut pemerintah membuka informasi seluas-luasnya terkait pembangunan fisik di Pulau Rinca dengan melakukan konsultasi publik terlebih dahulu.
Ketiga, Formapp mengutuk keras setiap usaha untuk mengalihfungsikan dan memprivatisasi kawasan Taman Nasional Komodo menjadi kawasan investasi.
"Karena itu, kami mendesak pemerintah untuk mencabut izin perusahaan yang hendak berinvestasi dalam kawasan Taman Nasional Komodo," kata Venan.
Keempat, mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya-upaya konservasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan di Flores pada umumnya sebagai bentuk investasi jangka panjang merawat alam yang menjadi magnet pariwisata Flores.
Terakhir, mendesak pemerintah untuk mengedepankan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan konservasi dan pariwisata di NTT.
Namun, hingga saat ini, upaya penolakan dan sejumlah tuntutan belum mendapat tanggapan dari pemerintah, terutama Kementerian PUPR yang masih terus melanjutkan pembangunan fisik.
"Sejauh ini belum ada respons dari Kementerian PUPR," tuntas Venan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.