Khusus kawasan pedesaan, selain dianggap sebagai "korban" penerima penyakit dari kota, juga tiba-tiba diharapkan bisa mandiri memberikan layanan kesehatan dan manajemen penanganan pandemi sejajar seperti kota-kota di bagian dunia mana pun.
Peran yang diharapkan ini merupakan tekanan besar bagi pemerintah kota kecil dan aparat pedesaan.
Isu-isu di masyarakat tentang pandemi seperti diskriminasi terhadap pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pantauan (ODP), realokasi anggaran di lapangan dan manajemen wilayah seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), berisiko menciptakan ketidakpastian di masyarakat, bahkan potensial terjadinya gejolak sosial.
Panduan global penanganan pandemi yang dirilis organisasi kesehatan dunia (WHO) harus secara integratif dilakukan pemerintah nasional bersama daerah, dengan mengajak partisipasi masyarakat.
Pandemi Covid-19 memperlihatkan kepada kita bagaimana kota dan desa menghadapi krisis ini. Contoh terburuk terjadi di Amerika Serikat (AS).
Padahal negara ini dianggap memiliki kota-kota yang baik. Kegagapan koordinasi pusat dan daerah, menyebabkan korban sepertiga kasus dunia, dan kematian akibat pandemi di kota-kota Paman Sam ini mencapai 270.000 jiwa atau seperempat kematian di dunia.
Para wali kota dan gubernur di seluruh negara bagian AS, terperangkap dalam buruknya tarik ulur pemerintah federal dan daerah.
Kota-kota yang menerapkan lockdown pun banyak yang menghadapi krisis lain berupa potensi konflik horizontal yang semakin nyata.
Lain lagi dengan kota Hangzhou di China, yang secara integratif melaksanakan pengawasan proaktif, social distancing, protokol isolasi dan perlindungan warga. Ini dilakukan segera seketika mempelajari yang terjadi di Wuhan.
Kasus Indonesia dalam skala provinsi seperti Jawa Barat (Jabar), dengan 27 kota dan kabupaten, berpenduduk lebih dari 40 juta jiwa, sebanding dengan Spanyol, Argentina, dan Korea Selatan.
Sama seperti negara-negara tersebut, penanganan pandemi yang dipimpin Ridwan Kamil harus bisa berjibaku menerapkan PSBB se-provinsi yang berarti pengaturan aktivitas warga di ruang-ruang kota dan desa.
Pada saat yang bersamaan, Ridwan Kamil juga harus memberikan bantuan ekonomi kepada warga dalam keterbatasan anggaran.
Sayangnya, infrastruktur kesehatan masyarakat akar rumput seperti Puskesmas dan Posyandu tidak mampu diaktivasi dalam masa pandemi.
Kita pun dibuat terperangah ketika kehidupan sosial dan bertetangga kita ternyata tidaklah seideal yang kita bayangkan dalam menghadapi pandemi.
Oleh karena itu, rencana-rencana kota dan panduan rancang kota harus mengadopsi strategi penanganan pandemi.