KRISIS yang dipicu pandemi Covid-19 akan berdampak pada kehidupan sosial maupun pengelolaan kota-kota ke depan.
Pandemi yang kita hadapi hari ini akan terus menjadi bahan referensi bagi perencanaan kota masa depan untuk menjadi lebih layak huni dan berketahanan.
Dari kacamata penyintas (survivor) Covid-19, ketakutan, dan psikosomatis yang saya alami juga menular ke keluarga.
Saya yakin masyarakat kebanyakan pun merasakan hal yang sama. Ketakutan juga semakin menjadi-jadi ketika infrastruktur kesehatan masyarakat sangat terbatas di kota, dan tidak adanya fasilitas kesehatan dekat tempat tinggal yang bisa diandalkan.
Kita menjadi panik karena minimnya informasi langsung dari para pemimpin kota dalam prosedur penanganan pandemi di lapangan.
Sepanjang ingatan saya, pandemi ah salah satu kejadian luar biasa, yang membuat wali kota atau pimpinan daerah ditunggu-tunggu kehadirannya di tengah warga kotanya, dan dinantikan pesan dan informasinya.
Hampir di semua 187 negara terdampak sampai sekarang dengan tiga juta lebih orang terpapar, isu penanganan pandemi menukik pada persoalan teritorial dan tarik ulur peran pemerintah pusat/federal dengan pemerintah lokal kota/distrik.
Di samping aspek politis antar-pemimpin, kita melihat usaha mengendalikan pandemi ini sangat erat kaitannya dengan sebaran pandemi secara ruang.
Semua wali kota dan birokrasi kota fokus pada manajemen red zone, dan melaksanakan contact tracing yang harus mewakili luas kotanya. Semua initiatif-inisiatif kedaruratan ini harus dilakukan di tengah keterpurukan ekonomi.
Dalam ilmu perkotaan, pandemi adalah kejadian luar biasa yang "anti-tesis kota". Semua ukuran-ukuran dalam mengatasi pandemi seperti social distancing maupun contact tracing, menyebabkan pemakaian ruang yang lebih boros.
Demikian halnya dengan rasio penduduk per ruang aktifitas yang luas, penutupan fasilitas sosial dan publik seperti taman dan lapangan olahraga, penyelenggaraan utilitas, dan trasportasi publik dengan low capacity.
Padahal, ciri kota adalah densitas, atau kepadatan penduduk ideal per hektar, yang memungkinkan masyarakat berinterkasi sehingga kota dapat bertumbuh dan berfungsi sebagai kutub pertumbuhan dan pusat kekuasaan de facto.
Di sisi lain, kota juga adalah kontributor utama dalam pandemi. Sifat terbukanya kota sebagai melting pot dan kompleksitas kota secara langsung berpengaruh pada peningkatan penyebaran melaui kontak warga.
Dengan 60 persen atau 156 juta penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, jelas teknis menghentikan penyebaran melalui lockdown serta merta menjadi beban kota.
Dengan dunia yang semakin menjadi perkotaan akibat urbanisasi, kita melihat sendiri pandemi ini otomatis memengaruhi hubungan kota-desa. Terutama dalam hal manajemen red zone.