Lalu apa yang bisa membuat kebiasaan-kebiasaan itu masih terus akan dilakukan jika biaya mentalnya begitu besar?
Menurunnya ancaman wabah akan juga memudarkan intensitas, saliency dan immediacy dari pain, dan fear-nya.
Berita-berita positif mengenai jumlah kasus infeksi yang menurun akan mulai membanjiri lini masa kita dan mempertebal intensity, saliency dan immediacy yang bisa kita bayangkan.
Pertanyaannya, apakah kita masih menyisakan kesenangan yang demikian tangible, salient dan immediate untuk terus melakukan apapun kebiasaan baru yang kita dapat dari periode ini?
Mekanisme adaptasi kita akan mendorong semua pain, fear, anxiety, pleasure dari segala kebiasaan yang terbentuk seiring waktu pudar intensitasnya.
Manusia adalah binatang malas, dan kemalasan kita sudah menjadi satu paket dari program kebertanahan kita. Kita memilih apa yang mudah untuk kita, oleh karena itu pula kita sulit untuk berubah.
Semua kebiasaan yang kita adopsi pada masa isolasi ini kita akuisisi bukan tanpa biaya dan pengorbanan. Namun risiko lebih besar yang harus kita tanggung-lah yang membuat biaya kebiasaan baru ini tidak sebesar biaya terkena Covid-19.
Untuk itu ketika semua potential cost yang muncul dari ancaman Covid-19 hilang, maka kita butuh justifikasi pengganti untuk mendorong kita untuk terus menenggak pahit anyirnya jamu Jahe Kunyit Temulawak Pak Presiden.
Apa yang akan bertahan dan apa yang akan menjadi mantan?
Syarat pertama untuk apapun kebiasaan yang kita baru akuisisi pada masa isolasi adalah relevansinya pada periode setelah isolasi.
Relevansi amat sangat bergantung pada konteks, dan ketika konteksnya berubah maka relevansi pun bisa hilang.
Misalnya apakah kita akan terus bekerja dari rumah dan melakukan meeting virtual? Bagi sebagian orang mungkin saja, tapi bagi sebagian besar orang ketika kantor mulai dibuka maka virtual meeting bisa jadi tidak relevan.
Syarat kedua untuk melanjutkan kebiasaan kita saat ini adalah apakah produk dan layanan kita masuk ke dalam habitual product/service atau sudah berhasil membentuk kebiasaan?
Syarat selanjutnya adalah apakah kita menjaga saliency dari brand presence kita selama periode isolasi ini?
Harus diingat bahwa periode ini adalah somatic marker, atau periode yang akan meninggalkan kenangan dan memori yang begitu kuat pada benak semua orang yang berhasil melaluinya.