Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius Untung S
Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Mempertanyakan "New Normal" (III)

Kompas.com - 03/05/2020, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

COVID-19 terbukti punya dampak yang begitu sistemik, bukan hanya dari sisi kesehatan tapi juga perekonomian.

Ketika miliaran orang di seluruh dunia mengurangi aktivitasnya dan menghabiskan hampir dari seluruh waktunya di rumah, maka roda ekonomi pun melambat.

Kita pun dipaksa untuk memiliki kebiasaan baru; yang dulunya menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi, kini mulai fasih berbelanja online.

Jika sebelumnya menggunakan laptop hanya untuk membuka aplikasi perkantoran, kini khatam menuntun anaknya bersekolah dengan layanan kelas daring dan konferensi video.

Kebiasaan- kebiasaan baru ini yang sering disebut sebagai new normal, atau kebiasaan baru yang awalnya tidak biasa, namun kemudian menjadi kenormalan baru.

Artikel ini merupakan bagian terakhir yang mengupas tentang kebiasaan baru atau New Normal di tengah Pandemi Covid-19.

Bagian pertama bisa bisa klik tautan ini, Mempertanyakan New Normal (I)  dan bagian kedua bisa dibaca di sini Baca juga: Mempertanyakan New Normal (II)

Dari perspektif habit forming, ketika ancaman memudar, maka banyak kebiasaan baru kita akan kehilangan pemantik (trigger), sehingga reward-nya pun menjadi cair, dan pada akhirnya rutinitas yang kita lakukan bentukan utama kebiasaan menjadi tidak relevan.

Pertanyaannya apakah kita punya hal lain untuk mengganti reward yang hilang tadi untuk kebiasaan itu tetap bertahan?

Ketika kebiasaan baru kita kehilangan dua elemen utamanya (trigger and reward), sementara di sisi lain craving (kecanduan) atas kebiasaan-kebiasaan lama mulai muncul, maka dorongan untuk melakukannya pun akan membuncah.

Lihatlah sekarang kita sudah mulai membayangkan apa yang akan kita lakukan setelah isolasi ini berakhir; makan bakmie favorit, pergi ke mal, bertemu teman-teman, traveling, dan lain sebagainya.

Semua keinginan itu adalah reward yang sudah masuk ke dalam tahap craving yang sudah dibangun oleh kebiasaan lama sehingga kekuatan pemantiknya menjadi begitu kuat.

Ketika kita mulai beraktivitas kembali, seiring dengan meredanya wabah, maka hitung-hitungan perceived risk vs perceived gain-nya pun berubah.

Ancamannya memudar dan kesenangan-kesenangan lama kembali muncul akibat akses ke mal, restoran favorit, bertemu teman, kesempatan liburan mulai terbuka.

Harus dipahami bahwa bagaiman kita mengadopsi kebiasaan baru seperti diam di rumah, minum jamu, dan bahkan bertransaksi daring juga punya “biaya mental” yang besar sehingga ketika keuntungannya pudar maka kebiasaan ini perlahan-lahan kalah angka dalam hitung-hitungan perceived risk vs perceived gain di benak kita.

Sebagai ilustrasi betapa besarnya biaya mental yang kita keluarkan selama isolasi ini, lihatlah betapa sebagian dari kita mulai merindukan macetnya Jakarta, sesuatu yang biasanya kita kutuk dan benci.

Lalu apa yang bisa membuat kebiasaan-kebiasaan itu masih terus akan dilakukan jika biaya mentalnya begitu besar?

Menurunnya ancaman wabah akan juga memudarkan intensitas, saliency dan immediacy dari pain, dan fear-nya.

Berita-berita positif mengenai jumlah kasus infeksi yang menurun akan mulai membanjiri lini masa kita dan mempertebal intensity, saliency dan immediacy  yang bisa kita bayangkan.

Pertanyaannya, apakah kita masih menyisakan kesenangan yang demikian tangible, salient dan immediate untuk terus melakukan apapun kebiasaan baru yang kita dapat dari periode ini?

Mekanisme adaptasi kita akan mendorong semua pain, fear, anxiety, pleasure dari segala kebiasaan yang terbentuk seiring waktu pudar intensitasnya.

Manusia adalah binatang malas, dan kemalasan kita sudah menjadi satu paket dari program kebertanahan kita. Kita memilih apa yang mudah untuk kita, oleh karena itu pula kita sulit untuk berubah.

Semua kebiasaan yang kita adopsi pada masa isolasi ini kita akuisisi bukan tanpa biaya dan pengorbanan. Namun risiko lebih besar yang harus kita tanggung-lah yang membuat biaya kebiasaan baru ini tidak sebesar biaya terkena Covid-19.

Untuk itu ketika semua potential cost yang muncul dari ancaman Covid-19 hilang, maka kita butuh justifikasi pengganti untuk mendorong kita untuk terus menenggak pahit anyirnya jamu Jahe Kunyit Temulawak Pak Presiden.

Apa yang akan bertahan dan apa yang akan menjadi mantan?

Syarat pertama untuk apapun kebiasaan yang kita baru akuisisi pada masa isolasi adalah relevansinya pada periode setelah isolasi.

Relevansi amat sangat bergantung pada konteks, dan ketika konteksnya berubah maka relevansi pun bisa hilang.

Misalnya apakah kita akan terus bekerja dari rumah dan melakukan meeting virtual? Bagi sebagian orang mungkin saja, tapi bagi sebagian besar orang ketika kantor mulai dibuka maka virtual meeting bisa jadi tidak relevan.

Syarat kedua untuk melanjutkan kebiasaan kita saat ini adalah apakah produk dan layanan kita masuk ke dalam habitual product/service atau sudah berhasil membentuk kebiasaan?

Syarat selanjutnya adalah apakah kita menjaga saliency dari brand presence kita selama periode isolasi ini?

Harus diingat bahwa periode ini adalah somatic marker, atau periode yang akan meninggalkan kenangan dan memori yang begitu kuat pada benak semua orang yang berhasil melaluinya.

Chief Creative Ogilvy Piyush Pandey berpendapat bahwa great brand is like good friend. Dan teman yang baik mau berkorban dan mengenyampingkan agenda pribadi ketika temannya sedang dalam kesusahan.

Maka dari itu brand yang tidak “mengkhianati” konsumennya akan menuai hubungan yang luar biasa seperti sahabat yang sudah menjalani susah senang bersama.

Periode pandemi ini menjadi panggung nyata yang mempertontonkan bagaimana brand-brand berjiwa besar berani berkorban untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat termasuk mengubah pabrik parfum dan pelembab menjadi pabrik hand sanitizer yang hasilnya disumbangkan.

Syarat berikutnya, bagaimana brand offer, dan brand experience kita bisa hadir memberikan reward dan pleasure untuk kebiasaan baru tetap bertahan.

Lebih jauh lagi brand besar bisa beroperasi pada dua level dalam Maslow Hierarchy of Needs; pada level kebutuhan psikologis sebagai pemenuhan kebutuhan dasar dan juga pada level self esteem sebagai brand yang membawa pembelinya kepada satu level kebanggan tertentu.

Periode isolasi adalah periode di mana marketer harus lebih mengedepankan brand belief yang memiliki niat baik dan tulus terhadap konsumennya ketimbang sekadar penawaran transaksional.

Syarat selanjutnya adalah brand bisa ambil bagian dan menciptakan pengalaman dinamis sehingga tidak tergerus oleh jebakan mesin adaptasi manusia.

Sebagai syarat terakhir adalah brand bisa mendorong terciptanya craving di sisi konsumen akibat kebiasaan demikian, sehingga membuat konsumen kecanduan bahkan ketika dirangsang oleh memori soal brand ini.

Semoga Indonesia segera pulih, bisnis yang mengalami kesulitan bisa kembali bergairah, dan yang telanjur mendapat keuntungan bisa terus berkembang. 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com