Seiring perkembangan zaman, gebyok mulai mengalami kemunduran. Keberadaannya pun sudah berkurang bahkan terancam punah.
Triatmo menuturkan, di Kudus, keberadaan rumah adat khas daerah itu kini sulit ditemukan. Jumlahnya pun juga tinggal beberapa unit di kudus.
Selebihnya, rumah-rumah adat itu sudah diperjualbelikan baik secara utuh sebagai RAK maupun secara parsial dalam bentuk sebuah gebyok. Padahal, gebyok sebagai bagian inheren dan tak terpisahkan dari RAK.
Meski demikian, saat ini gebyok berkembang dengan beragam motif dan jenis yang dipengaruhi oleh asal-usul daerahnya.
Tak hanya itu, tingkatan sosial masyarakat juga memengaruhi keanekaragaman gebyok, seperti motif hingga teknik ukirnya.
Oleh karenanya, gaya dan motif gebyok tak selalu berasal dari sebuah daerah tertentu namun bisa juga dari wilayah lain.
Seperti contohnya gebyok Kudusan tak selalu berasal dari daerah Kudus, tetapi bisa dibuat di beberapa daerah di Jawa Timur.
Triatmo juga mencatat, jika pada zaman dulu penyebaran gebyok terjadi karena syiar agama, saat ini penyebarannya terjadi atas permintaan pasar.
Hal ini membuat gaya dan motifnya terus berkembang, termasuk jenis pemanfaatannya.
Gebyok saat ini ada yang digunakan secara utuh sebagai RAK, tetapi juga digunakan secara parsial baik sebagai pintu gerbang, pelaminan, elemen interior bangunan, hingga hiasan semata.
Oleh karenanya keistimewaannya, RAK saat ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016.
Kemendikbud mencatat, RAK merupakan warisan budaya yang memiliki gaya seni dari perpaduan budaya pra-Islam, China, dan Islam di Kudus.
Lalu setahun kemudian, RAK ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbud dalam dominan keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.
Meski telah ditetapkan sebagai warisan budaya, sayangnya gebyok masih dianggap sebagai satu kesatuan dengan RAK dan tidak disebutkan sebagai warisan budaya yang terpisah.
Hal ini, menurut Triatmo, tidak memberikan kekuatan yuridis dan pengakuan budaya terhadap gebyok sebagai ikon dan penopang RAK itu sendiri.
Akibatnya, gebyok sebagai bagian dari budaya tidak dianggap ada. Pemiliknya pun bebas dan leluasa membawa gebyok dan memperjualbelikannya.
Menurut Triatmo, bukan tak mungkin, ke depannya gebyok bisa diakui oleh bangsa lain, apalagi jika mereka merasa memiliki akar budaya yang hampir sama.
Untuk itu, dia berharap gebyok sebagai ikon dari rumah Jawa bisa dijadikan warisan budaya tak benda oleh UNESCO.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.