JAKARTA, KOMPAS.com - Mencuatnya kasus perizinan proyek Meikarta dan dihentikannya proyek reklamasi Teluk Jakarta, membuktikan bahwa sudah mulai ada perbaikan dalam hal sistem perencanaan tata ruang Indonesia.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan, banyak praktek perizinan di lapangan yang sering kali melanggar norma-norma yang telah dibuat, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sebenarnya, bukan kali ini saja praktik tersebut terjadi. Munculnya paradigma 'diskresi' yang dianut banyak pejabat, perencana dan sistem politik setempat sudah menjadi hal lazim sejak jaman dulu.
Baca juga: 29 IMB Meikarta Belum Disahkan
Namun, pemerintah terus memperbaiki regulasi agar di dalam perencanaan dan pengembangan kawasan juga memperhatikan aspek berkeadilan dan berkelanjutan sesuai mandat Sustainable Development Goals (SDG's) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Kedua kasus itu adalah contoh gamblang bagaimana paradigma diskresi berbenturan dengan aturan perencanaan dan implementasi saat ini yang mengutamakan ketaatan pada aturan-aturan dan proses perencanaan," kata Bernardus kepada Kompas.com, Rabu (24/10/2018).
Meski telah diperbaiki, bukan berarti peraturan yang ada tidak dilanggar. Bahkan, dalam beberapa kasus terkesan sengaja diabaikan di lapangan.
Dalam kasus Meikarta, misalnya, Direktur Jenderal Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang Tanah Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang menyebut bila PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), anak usaha Lippo Group, hanya mengantongi izin lokasi seluas 84,3 hektar dari rencana pengembangan kawasan seluas 447 hektar.
Izin tersebut diterbitkan lantaran hanya kawasan itu yang sesuai peruntukkannya sebagai kawasan pemukiman sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi.
Sementara, 362,7 hektar sisanya dinilai tidak sesuai peruntukkan lantaran berada di zona Lahan Peruntukkan Industri (LPI).
"Sudah sangat jelas fatwa aturan yang diterbitkan tentang implementasi Meikarta," tutup Bernardus.
Kasus Meikarta
OTT yang dilakukan terkait adanya dugaan suap yang diberikan Lippo Group agar memuluskan urusan perizinan Meikarta.
Dalam perkara ini, KPK juga menangkap sejumlah kepala dinas dan pejabat di lingkungan Kabupaten Bekasi. S
eperti Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Jamaluddin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, serta Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Dewi Tisnawati.
Tak luput Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi Neneng Rahmi juga turut ditangkap pada operasi yang dilakukan pada 14-15 Oktober lalu.
Para pejabat tersebut diduga menerima suap terkait proyek perizinan proyek pembangunan Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Suap diberikan oleh pejabat pengembang properti Lippo Group.
Bupati dan para kepala dinas diduga dijanjikan uang Rp 13 miliar oleh pengembang Lippo Group. Hingga saat ini, menurut KPK, baru terjadi penyerahan Rp 7 miliar.
Reklamasi dihentikan
Adapun dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, ada 17 proyek pulau yang sedianya akan dibangun. Namun, izin 13 pulau di antaranya telah dicabut Pemprov DKI Jakarta.
Ke-13 pulau tersebut adalah Pulau A, B, dan E (pemegang izin: PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (pemegang izin: PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (pemegang izin: PT Manggala Krida Yudha); dan Pulau O dan F (pemegang izin: PT Jakarta Propertindo).
Kemudian, Pulau P dan Q (pemegang izin: PT KEK Marunda Jakarta); Pulau H (pemegang izin: PT Taman Harapan Indah); serta Pulau I (pemegang izin: PT Jaladri Kartika Paksi).
Sementara, empat pulau lainnya yaitu C dan D (pemegang izin: PT Kapuk Naga Indah), G (pemegang izin: PT Muara Wisesa Samudera), serta N (pemegang izin: PT Pelindo II) izinnya tidak dicabut karena pembangunannya sudah dilaksanakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.