Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Hadapi Gempa dan Tsunami, Indonesia Perlu Belajar dari Chile

Kompas.com - 01/10/2018, 17:05 WIB
Dani Prabowo,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

Seorang pejabat urusan kemanusiaan PBB, Christophe Schmachtel, mengaku, dirinya tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pelatihan evakuasi seperti ini.

Ketika gempa melanda Chile pada 2010, ia sempat kebingungan ke mana harus menghubungi otoritas yang berwenang.

"Cara kami untuk berkomunikasi dengan komunitas internasional yaitu dengan menonton televisi dan melapor ke PBB. Kami butuh waktu dua hingga tiga hari untuk mendapatkan informasi resmi," kata Schmachtel.

"Sebab, pemerintah Chile tidak memiliki banyak informasi tentang komunitas internasional yang bertugas menangani persoalan seperti ini. Namun, kini semua sudah berubah," ucap dia.

Ketika gempa bumi terbaru terjadi di sana, sistem peringatan terbaru digunakan untuk memperingatkan kepada penduduk. Dalam beberapa menit setelah gempa, sirene di pusat Kota Coquimbo dan daerah pantai berbunyi keras.

Sebuah konvoi ambulans, petugas pemadam kebakaran, dan aparat kepolisian berusaha mempercepat upaya evakuasi. Pasalnya, mereka meyakini bahwa warga pasti enggan meninggalkan rumah untuk menuju ke bukit.

Alhasil, mereka menggunakan telepon seluler untuk mengirimkan pesan singkat kepada semua warga tentang peringatan tsunami, dan mendesak warga untuk meninggalkan daerah pesisir.

"Selama gempa terakhir ini, saya berbicara dengan pemerintah Chile lebih kurang 30 menit. Kemudian memberi tahu masyarakat internasional bahwa pemerintah dapat mengendalikan situasi sehingga tidak memerlukan bantuan internasional," ungkap Schmactel.

"Perbedaan antara berada dalam kondisi gempa bumi dan berada dalam bencana adalah pada tingkat persiapannya. Inilah awalnya pemberlakuan aturan ketat pada bangunan yang ada di Chile," imbuh dia.

Sistem bangunan gedung tahan gempa ini mengharuskan setiap bangunan di Chile untuk dapat bertahan hingga magnitudo 9.

Meski setelah gempa terjadi bangunan retak, miring, dan bahkan dinyatakan tidak layak lagi digunakan di kemudian hari, tetapi tidak boleh runtuh ketika gempa terjadi.

Baca juga: Mengagumi Masjid Terapung Palu Sebelum Diterjang Tsunami

Sementara itu, Kepala Operasi Komisi Darurat Nasional Kosta Rika, Walter Fonseca, mengatakan, faktor penting yang membuat jumlah korban meninggal dunia rendah yaitu tak hanya kode etik bangunan itu sendiri, tetapi juga upaya penegakan aturan dipatuhi semua pihak.

"Ini menunjukkan kapasitas dan ketelitian pemerintah kota setempat. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar memeriksa dan menyetujui desain dan konstruksi bangunan," kata Fonseca.

Schamatel mengatakan, protokol tangap darurat Chile mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak gempa bermagnitudo 8,8 mengguncang wilayah itu pada Februari 2010.

Lebih dari 500 orang meninggal dunia dan jaringan komunikasi rusak sehingga tidak memiliki cara untuk berkomunikasi dengan pejabat di Santiago.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com