KOMPAS.com - Chile menjadi salah satu negara yang memiliki infrastruktur sistem penanganan bencana paling efektif di dunia.
Hal itu dimungkinkan karena negara ini memiliki kode etik bangunan tahan gempa yang ketat, simulasi evakuasi, dan yang paling utama yaitu persiapan dalam menghadapi keadaan darurat.
Dilansir dari The Guardian, ketika gelombang tsunami setinggi 4,5 meter menerjang Coquimbo pada 16 September 2010, lingkungan tempat tinggal para nelayan hancur disapu gelombang.
Tak kurang dari 200 perahu hancur, beberapa di antaranya terseret ke laut, dan sebagian lainnya menumpuk di darat bak tumpukan kayu bekas.
Kendati wilayah tersebut dihuni sekitar 150.000 orang, saat peristiwa ini terjadi hanya 13 orang yang meninggal dunia. Sembilan di antaranya adalah warga Coquimbo dan empat lainnya adalah warga yang tinggal di wilayah lain di Chile.
Lantas mengapa hanya 13 orang yang meninggal pada saat gempa bermagnitudo 8,4 terjadi? Sementara di beberapa belahan dunia lain, seperti Haiti, Nepal, bahkan Indonesia, yang mengalami gempa dengan magnitudo lebih lemah tetapi menimbulkan korban lebih banyak?
Mantan jenderal Angkatan Darat yang kini menangani Badan Bantuan Bencana Chile, ONEMI, Ricardo Toro mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki skema penanganan yang disebut sebagai "Chile Prepares".
"Di mana bagian utama dan yang paling penting adalah latihan evakuasi. Setiap tahun kami minimal menjalankan enam hingga tujuh evakuasi di semua wilayah," kata Toro.
Latihan evakuasi dilakukan selama berjam-jam dan diikuti oleh sekitar satu juta orang untuk mempersiapkan bila terjadi bencana besar.
"Seandainya kami tidak melakukan latihan evakuasi, akan ada banyak dan banyak lagi kematian," ungkapnya.
Toro sangat memahami karakteristik gempa besar. Di bawah komando Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia pernah ditempatkan di Port au Prince, Haiti, pada 2010 saat gempa bermagnitudo 7,7 menghancurkan kota tersebut.
Ribuan bangunan runtuh, rata dengan tanah, karena dirancang dengan buruk. Tim medis dan tim penyelamat dibuat kewalahan dalam proses evakuasi korban.
Dalam sepekan, jumlah korban tewas dari gempa Haiti itu diperkirakan mencapai lebih dari 200.000, termasuk Maria Teresa Dowling, yang tak lain adalah istrinya.
"Saya kehilangan istri saya, dan itu memberi saya empati dengan orang-orang yang menderita kerugian. Itulah mengapa sistem pencegahan ini harus fokus pada penyelamatan jiwa," ujarnya.
"Saya pikir Haiti adalah permulaan. Tim penyelamat yang tiba tidak bisa terkoordinasi. Mereka justru lebih mengkhawatirkan keberadaan media untuk mendapatkan perhatian. Sekarang semua prosedur lebih profesional, dengan protokol. Karena dalam sebuah bencana, improvisasi adalah hal terburuk," imbuh Toro.
Baca juga: Tangani Korban Gempa di Palu, Kementerian PUPR Siapkan Empat Hal