Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Hadapi Gempa dan Tsunami, Indonesia Perlu Belajar dari Chile

Kompas.com - 01/10/2018, 17:05 WIB
Dani Prabowo,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Chile menjadi salah satu negara yang memiliki infrastruktur sistem penanganan bencana paling efektif di dunia.

Hal itu dimungkinkan karena negara ini memiliki kode etik bangunan tahan gempa yang ketat, simulasi evakuasi, dan yang paling utama yaitu persiapan dalam menghadapi keadaan darurat.

Dilansir dari The Guardian, ketika gelombang tsunami setinggi 4,5 meter menerjang Coquimbo pada 16 September 2010, lingkungan tempat tinggal para nelayan hancur disapu gelombang.

Tak kurang dari 200 perahu hancur, beberapa di antaranya terseret ke laut, dan sebagian lainnya menumpuk di darat bak tumpukan kayu bekas.

Kendati wilayah tersebut dihuni sekitar 150.000 orang, saat peristiwa ini terjadi hanya 13 orang yang meninggal dunia. Sembilan di antaranya adalah warga Coquimbo dan empat lainnya adalah warga yang tinggal di wilayah lain di Chile.

Lantas mengapa hanya 13 orang yang meninggal pada saat gempa bermagnitudo 8,4 terjadi? Sementara di beberapa belahan dunia lain, seperti Haiti, Nepal, bahkan Indonesia, yang mengalami gempa dengan magnitudo lebih lemah tetapi menimbulkan korban lebih banyak?

Mantan jenderal Angkatan Darat yang kini menangani Badan Bantuan Bencana Chile, ONEMI, Ricardo Toro mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki skema penanganan yang disebut sebagai "Chile Prepares".

"Di mana bagian utama dan yang paling penting adalah latihan evakuasi. Setiap tahun kami minimal menjalankan enam hingga tujuh evakuasi di semua wilayah," kata Toro.

Latihan evakuasi dilakukan selama berjam-jam dan diikuti oleh sekitar satu juta orang untuk mempersiapkan bila terjadi bencana besar.

"Seandainya kami tidak melakukan latihan evakuasi, akan ada banyak dan banyak lagi kematian," ungkapnya.

Toro sangat memahami karakteristik gempa besar. Di bawah komando Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia pernah ditempatkan di Port au Prince, Haiti, pada 2010 saat gempa bermagnitudo 7,7 menghancurkan kota tersebut.

Ribuan bangunan runtuh, rata dengan tanah, karena dirancang dengan buruk. Tim medis dan tim penyelamat dibuat kewalahan dalam proses evakuasi korban.

Dalam sepekan, jumlah korban tewas dari gempa Haiti itu diperkirakan mencapai lebih dari 200.000, termasuk Maria Teresa Dowling, yang tak lain adalah istrinya.

"Saya kehilangan istri saya, dan itu memberi saya empati dengan orang-orang yang menderita kerugian. Itulah mengapa sistem pencegahan ini harus fokus pada penyelamatan jiwa," ujarnya.

"Saya pikir Haiti adalah permulaan. Tim penyelamat yang tiba tidak bisa terkoordinasi. Mereka justru lebih mengkhawatirkan keberadaan media untuk mendapatkan perhatian. Sekarang semua prosedur lebih profesional, dengan protokol. Karena dalam sebuah bencana, improvisasi adalah hal terburuk," imbuh Toro.

Baca juga: Tangani Korban Gempa di Palu, Kementerian PUPR Siapkan Empat Hal

Seorang pejabat urusan kemanusiaan PBB, Christophe Schmachtel, mengaku, dirinya tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pelatihan evakuasi seperti ini.

Ketika gempa melanda Chile pada 2010, ia sempat kebingungan ke mana harus menghubungi otoritas yang berwenang.

"Cara kami untuk berkomunikasi dengan komunitas internasional yaitu dengan menonton televisi dan melapor ke PBB. Kami butuh waktu dua hingga tiga hari untuk mendapatkan informasi resmi," kata Schmachtel.

"Sebab, pemerintah Chile tidak memiliki banyak informasi tentang komunitas internasional yang bertugas menangani persoalan seperti ini. Namun, kini semua sudah berubah," ucap dia.

Ketika gempa bumi terbaru terjadi di sana, sistem peringatan terbaru digunakan untuk memperingatkan kepada penduduk. Dalam beberapa menit setelah gempa, sirene di pusat Kota Coquimbo dan daerah pantai berbunyi keras.

Sebuah konvoi ambulans, petugas pemadam kebakaran, dan aparat kepolisian berusaha mempercepat upaya evakuasi. Pasalnya, mereka meyakini bahwa warga pasti enggan meninggalkan rumah untuk menuju ke bukit.

Alhasil, mereka menggunakan telepon seluler untuk mengirimkan pesan singkat kepada semua warga tentang peringatan tsunami, dan mendesak warga untuk meninggalkan daerah pesisir.

"Selama gempa terakhir ini, saya berbicara dengan pemerintah Chile lebih kurang 30 menit. Kemudian memberi tahu masyarakat internasional bahwa pemerintah dapat mengendalikan situasi sehingga tidak memerlukan bantuan internasional," ungkap Schmactel.

"Perbedaan antara berada dalam kondisi gempa bumi dan berada dalam bencana adalah pada tingkat persiapannya. Inilah awalnya pemberlakuan aturan ketat pada bangunan yang ada di Chile," imbuh dia.

Sistem bangunan gedung tahan gempa ini mengharuskan setiap bangunan di Chile untuk dapat bertahan hingga magnitudo 9.

Meski setelah gempa terjadi bangunan retak, miring, dan bahkan dinyatakan tidak layak lagi digunakan di kemudian hari, tetapi tidak boleh runtuh ketika gempa terjadi.

Baca juga: Mengagumi Masjid Terapung Palu Sebelum Diterjang Tsunami

Sementara itu, Kepala Operasi Komisi Darurat Nasional Kosta Rika, Walter Fonseca, mengatakan, faktor penting yang membuat jumlah korban meninggal dunia rendah yaitu tak hanya kode etik bangunan itu sendiri, tetapi juga upaya penegakan aturan dipatuhi semua pihak.

"Ini menunjukkan kapasitas dan ketelitian pemerintah kota setempat. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar memeriksa dan menyetujui desain dan konstruksi bangunan," kata Fonseca.

Schamatel mengatakan, protokol tangap darurat Chile mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak gempa bermagnitudo 8,8 mengguncang wilayah itu pada Februari 2010.

Lebih dari 500 orang meninggal dunia dan jaringan komunikasi rusak sehingga tidak memiliki cara untuk berkomunikasi dengan pejabat di Santiago.

Selain itu, pemerintah yang enggan membunyikan sirene pertanda tsunami menyebabkan puluhan warga yang berada di pantai tersapu. Empat pejabat pemerintahan kemudian dituduh melakukan pembunuhan tidak disengaja.

Namun, ada juga faktor lain yang membantu Chile mengatasi gempa bumi bermagnitudo tinggi, yaitu gempa berkekuatan rendah hingga menengah.

Meski menimbulkan kerusakan minor, hal itu cukup membantu masyarakat dalam mengingatkan mereka atas ancaman gempa.

Sebagai negara yang masuk ke dalam jalur "cincin api" yang terbentang hingga Alaska dan Jepang, Chile terus-menerus terguncang. Bahkan, pada 1960 tak kurang dari 5.000 orang meninggal dunia akibat gempa bermagnitudo 9,5.

Hal itulah yang kemudian membangkitkan kesadaran pemerintah setempat untuk membangun skema aturan bangunan yang ketat.

"Chile hari ini telah sepenuhnya mempelajari protokol PBB dan menyesuaikannya dengan kebutuhan lokal. Chile telah menjadi sebuah karya. Dalam pertemuan global kami (tentang persiapan gempa), Chile sekarang menjadi contoh," tutup Schmactel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com