Hal ini memicu transaksi ekonomi yang tidak seimbang. Bayangkan saja, pedagang dari Surabaya, Makassar, atau wilayah lainnya justru membeli beras dan garam di wilayah perbatasan Malaysia.
"Padahal itu semua kami punya, kami yang memproduksi. Namun karena terkendala jalan dan akses ke perbatasan yang belum memadai, aktivitas dari kantong produksi ke kota-kota lainnya menjadi terhambat," ungkap Yansen.
Menurut dia, masih banyak wilayah yang hanya bisa dilintasi melalui udara. Sebut saja Kecamatan Krayan, Pujungan, Kayan Hulu, Kayan Hilir, Long Phangai, dan Long Apari.
Karena itu, dia mengharapkan program pemerintah membangun dari pinggiran betul-betul dilaksanakan. Jika itu terwujud, cukup lima tahun Malinau akan menjadi kawasan penting yang memengaruhi Kaltara keseluruhan.
Saat ini, pemerintah melalui Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) XII Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menggenjot pembangunan akses perbatasan dan jalan paralel perbatasan di Kaltara dan Kaltim.
Kepala BPJN XII Refly Ruddy Tangkere menjelaskan, dari total 1.067 kilometer jalan perbatasan di Kaltara dan Kaltim, 184 kilometer di antaranya belum tembus.
Masing-masing 126 kilometer di Kalimantan Utara dan 58 kilometer di Kalimantan Timur.
Kebutuhan dana untuk menembuskan jalan di titik akhir area Malinau yakni Long Bawan, dan Long Midang menuju perbatasan Indonesia-Malaysia, sekitar Rp 1,1 triliun.
Total kebutuhan dana itu hingga tahapan pengaspalan. Sementara untuk kebutuhan tembus fungsional saja demi kepentingan jalur logistik sekitar Rp 400 miliar.
Ketersediaan dana ini, diakui Refly, merupakan kendala terbesar, selain faktor-faktor lainnya. Karena itu, pembangunan jalan perbatasan memperhatikan kemampuan dana pemerintah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.