Kabupaten Malinau di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) merupakan contoh ideal betapa infrastruktur dapat mengubah aktivitas sehari-hari warganya.
Dengan luas 42.620 kilometer persegi atau lebih dari separuh dari total 72.000 kilometer persegi area Kaltara, Malinau terlalu strategis untuk hanya dijangkau oleh infrastruktur konektivitas seadanya.
Meminjam istilah Bupati Malinau Yansen Tipa Padan, membangun Malinau sama halnya membangun Kaltara.
"Posisinya strategis. Untuk menjangkau kawasan perbatasan di Nunukan dari Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur (Kaltim), misalnya, harus melintasi Malinau. Demikian halnya dari Kutai Barat ke Mahakam Hulu, juga harus melewati Malinau," tutur Yansen menjawab Kompas.com, Rabu (5/8/2018).
Mudah dimafhumi jika Yansen, dan warga Malinau lainnya mengharapkan pemerintah melakukan percepatan pembangunan infrastruktur konektivitas terutama menyangkut kelancaran transportasi dan jalur distribusi logistik di wilayah pinggiran dan akses menuju perbatasan.
Yansen menggambarkan, kondisi jalan paralel perbatasan Indonesia-Malaysia di Kaltara sangat bagus, sehingga memicu pergerakan ekonomi tumbuh positif.
"Saya ingin banyak orang Malaysia yang datang ke Indonesia untuk bertransaksi bukan sebaliknya orang-orang kita yang ke sana," kata Yansen.
Selama ini, tambah dia, banyak hasil komoditas dengan kualitas tinggi dari Kaltara dibawa ke Malaysia seperti beras, minyak, dan garam.
Hal ini memicu transaksi ekonomi yang tidak seimbang. Bayangkan saja, pedagang dari Surabaya, Makassar, atau wilayah lainnya justru membeli beras dan garam di wilayah perbatasan Malaysia.
"Padahal itu semua kami punya, kami yang memproduksi. Namun karena terkendala jalan dan akses ke perbatasan yang belum memadai, aktivitas dari kantong produksi ke kota-kota lainnya menjadi terhambat," ungkap Yansen.
Menurut dia, masih banyak wilayah yang hanya bisa dilintasi melalui udara. Sebut saja Kecamatan Krayan, Pujungan, Kayan Hulu, Kayan Hilir, Long Phangai, dan Long Apari.
Karena itu, dia mengharapkan program pemerintah membangun dari pinggiran betul-betul dilaksanakan. Jika itu terwujud, cukup lima tahun Malinau akan menjadi kawasan penting yang memengaruhi Kaltara keseluruhan.
Kepala BPJN XII Refly Ruddy Tangkere menjelaskan, dari total 1.067 kilometer jalan perbatasan di Kaltara dan Kaltim, 184 kilometer di antaranya belum tembus.
Masing-masing 126 kilometer di Kalimantan Utara dan 58 kilometer di Kalimantan Timur.
Kebutuhan dana untuk menembuskan jalan di titik akhir area Malinau yakni Long Bawan, dan Long Midang menuju perbatasan Indonesia-Malaysia, sekitar Rp 1,1 triliun.
Total kebutuhan dana itu hingga tahapan pengaspalan. Sementara untuk kebutuhan tembus fungsional saja demi kepentingan jalur logistik sekitar Rp 400 miliar.
Ketersediaan dana ini, diakui Refly, merupakan kendala terbesar, selain faktor-faktor lainnya. Karena itu, pembangunan jalan perbatasan memperhatikan kemampuan dana pemerintah.
Konstruksi jalan perbatasan beraspal pun diprioritaskan pada ruas jalan yang melintasi pusat kegiatan ekonomi dan pelayanan sosial, seperti permukiman, sekolah, pasar, dan puskesmas.
Nantinya, kata Kilit, BIMP EAGA akan mendorong Asian Development Bank (ADB) membiayai proyek jalan perbatasan sebagaimana telah mereka lakukan pada proyek jalan perbatasan Tanjung Selor-Sei Menggaris.
"Kita bisa manfaatkan komunitas BIMP EAGA untuk meyakinkan ADB membiayai proyek ini," cetus Kilit.
Kilit menjelaskan, pembangunan sekaligus perbaikan jalan perbatasan Tanjung Selor-Sei Manggaris dibagi menjadi 4 paket.
Paket I meliputi Tanjung Selor-Tanjung Palas-Sekatak sepanjang 34,82 kilometer. Paket II, Tanjung Palas-Sekatak sepanjang 65,13 kilometer.
Paket III Simpang 3 Apas-Simanggaris sepanjang 45 kilometer. Terakhir, paket IV ialah Simpang 3 Apas-Simanggaris-Border (batas negara) 43,41 kilometer.
Dari empat paket pembangunan dan perbaikan ruas jalan tersebut masing-masing dianggarkan sebanyak Rp 189,9 miliar, Rp 165,3 miliar, Rp 289 miliar, dan 359,6 miliar.
"ADB memberikan pinjaman untuk proyek jalan perbatasan tersebut," jelas Kilit.
2019 tembus seluruhnya
Dia mengakui, realisasi pembangunan jalan perbatasan ini sama beratnya dengan membangun Trans Papua.
“Ini sama seperti di Trans Papua. Topografinya berbukit-bukit, terutama di perbatasan Kaltim dan Kaltara sehingga mempengaruhi waktu pengerjaan dan biaya konstruksi,” jelas Refly.
Faktor non-teknis, yakni kultur budaya masyarakat perbatasan juga menjadi tantangan tersendiri, ditambah dengan cuaca yang cenderung ekstrem pada beberapa bulan terakhir.
Untuk diketahui, pembangunan jalan paralel perbatasan Kaltara dan Kaltim telah dimulai sejak 2015 dengan melibatkan Zeni TNI-AD untuk pembukaan lahan.
Pada tahun 2018 Kementerian PUPR mengalokasikan anggaran total sebesar Rp 839,4 miliar untuk pembangunan dua jalan paralel perbatasan tersebut.
Pada tahun 2018, BPJN XII, dan Zeni TNI AD telah melakukan penandatanganan 6 paket pekerjaan pembangunan jalan perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dengan panjang 132 kilometer senilai Rp 330,72 miliar.
https://properti.kompas.com/read/2018/09/06/060000921/rampungkan-jalan-perbatasan-kaltim-kaltara-butuh-rp-11-triliun