Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Persoalan Jakarta Mirip Penyakit Kronis Manusia

Kompas.com - 24/07/2018, 17:52 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

"Seperti proyek normalisasi itu kan mengeringkan Jakarta, membuang air ke laut, mengirim air ke laut," kata dia.

Normalisasi sendiri sebenarnya bukanlah sebuah barang baru. Pada era kolonialisme Belanda dulu, proyek semacam ini juga pernah dilaksanakan.

Kendati saat itu, jumlah ruang terbuka hijau serta daerah rawa cukup banyak, namun, Jakarta masih dilanda banjir saat turun hujan.

Hal itu tidak terlepas dari kesalahan paradigma pemerintah kolonial saat itu dalam mengatasi persoalan banjir, yaitu mengeringkan Jakarta. Ironisnya strategi tersebut masih dilakukan hingga kini.

"Bayangkan, dulu ruang menyimpan air itu banyak. Jadi bagaimana mungkin, sekarang kita harapkan dengan mengintervensi sungai, membuat pembetonan dan sebagainya, itu bisa menangani banjir? Nggak mungkin," tegas Yu Sing.

Betonisasi, lanjut dia, hanya akan menyelesaikan persoalan banjir jangka pendek, lantaran mempercepat aliran air dari sungai ke laut.

Sebaliknya, persoalan baru justru muncul, seperti hilangnya vegetasi alami di tepi sungai hingga volume air tanah yang terus menurun lantaran disedot masyarakat setiap harinya.

Hal ini sebagai dampak atas air dari sungai yang tidak bisa masuk kembali ke dalam tanah untuk mengisi cadangan air yang mulai kosong.

Dampak lain yang ditimbulkan dari pengambilan air tanah secara terus menerus yaitu penurunan permukaan tanah setiap tahun.

Hal ini diperkuat pernyataan Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Abdul Malik Sadat Idris yang mengungkapkan penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai 3 hingga 18 sentimer.

Abdul mengatakan bila penurunan permukaan tanah tidak ditanggulangi, bisa jadi pada 2050 permukaan tanah di Jakarta bisa turun 30 persen.

Area rerumputan di RTH Kalijodo, Jakarta Utara, tampak gundul, Senin (23/7/2018).KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D Area rerumputan di RTH Kalijodo, Jakarta Utara, tampak gundul, Senin (23/7/2018).
Akibatnya, tinggi permukaan tanah DKI saat ini sudah berada di bawah permukaan laut, sehingga berpotensi menimbulkan banjir. 

Sementara di sisi lain, keberadaan sejumlah RTH di Jakarta, kata Yu Sing, juga belum mampu mengatasi persoalan banjir Jakarta serta kelangkaan air tanah. Sebab, dari sisi desain saja sudah salah.

"Taman di Indonesia, termasuk Jakarta, itu hampir semua desainnya ditanggul dan tanah tamannya itu lebih tinggi dari jalan. Ketika hujan apa yang terjadi? Hujan menggerus taman, kotoran yang ada di taman seperti pasir, tanah subur, semua masuk ke jalan, masuk ke jalan menyumbat saluran, menyumbat saluran masuk ke saluran beton," tutur dia.

"Walaupun itu baru dibersihkan saluran betonnya, itu akan tersumbat lagi, mengurangi lagi volume beton. Dan air dari perkerasan yang begitu banyak di beton Jakarta, halaman, dan sebagainya kemana airnya? Tidak masuk dalam tanah karena tamannya lebih tinggi," tuntas dia.

 

 

Bersambung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau