Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Persoalan Jakarta Mirip Penyakit Kronis Manusia

BANDUNG, KOMPAS.com - Jelang pelaksanaan Asian Games ke-18 di Jakarta, berbagai persoalan yang semestinya dapat diselesaikan sejak dini justru bermunculan.

Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.

Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.

Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.

Kompas.com mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.

Artikel ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus Jakarta Menantang Zaman.

Salah desain

Arsitek dari Studio Akanoma yang juga pengamat perkotaan, Yu Sing mengibaratkan, persoalan yang tengah dihadapi Jakarta bak seseorang yang tengah mengidap penyakit kronis.

"Dengan kondisi sakit seperti ini, tentu tidak mungkin menyelesaikan persoalan itu selesai dalam jangka waktu singkat. 10-20 tahun enggak akan selesai. Itu saja yang harus masyarakat pahami," imbuhnya.

Menurut Yu Sing, masalah perkotaan di Jakarta muncul karena masyarakat tidak peduli. Masyarakat hanya paham bahwa setiap kepala daerah memiliki janji kampanye yang harus direalisasikan selama mereka menjabat.

Akhirnya, para kepala daerah tersebut terpaksa memutar otak untuk menghadirkan solusi penanganan sesaat.

"Sifatnya jangka pendek, yang sebetulnya tidak tepat dengan kondisi alami Jakarta," ujarnya.

Misalnya, dalam menangani banjir. Menurut Yu Sing, Pemprov DKI hingga kini belum mempunyai peta jalan (road map) penanganan banjir berkesinambungan yang melibatkan pemerintah daerah di sekitarnya.

"Seperti proyek normalisasi itu kan mengeringkan Jakarta, membuang air ke laut, mengirim air ke laut," kata dia.

Normalisasi sendiri sebenarnya bukanlah sebuah barang baru. Pada era kolonialisme Belanda dulu, proyek semacam ini juga pernah dilaksanakan.

Kendati saat itu, jumlah ruang terbuka hijau serta daerah rawa cukup banyak, namun, Jakarta masih dilanda banjir saat turun hujan.

Hal itu tidak terlepas dari kesalahan paradigma pemerintah kolonial saat itu dalam mengatasi persoalan banjir, yaitu mengeringkan Jakarta. Ironisnya strategi tersebut masih dilakukan hingga kini.

"Bayangkan, dulu ruang menyimpan air itu banyak. Jadi bagaimana mungkin, sekarang kita harapkan dengan mengintervensi sungai, membuat pembetonan dan sebagainya, itu bisa menangani banjir? Nggak mungkin," tegas Yu Sing.

Sebaliknya, persoalan baru justru muncul, seperti hilangnya vegetasi alami di tepi sungai hingga volume air tanah yang terus menurun lantaran disedot masyarakat setiap harinya.

Hal ini sebagai dampak atas air dari sungai yang tidak bisa masuk kembali ke dalam tanah untuk mengisi cadangan air yang mulai kosong.

Dampak lain yang ditimbulkan dari pengambilan air tanah secara terus menerus yaitu penurunan permukaan tanah setiap tahun.

Hal ini diperkuat pernyataan Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Abdul Malik Sadat Idris yang mengungkapkan penurunan permukaan tanah di Jakarta mencapai 3 hingga 18 sentimer.

Abdul mengatakan bila penurunan permukaan tanah tidak ditanggulangi, bisa jadi pada 2050 permukaan tanah di Jakarta bisa turun 30 persen.

Sementara di sisi lain, keberadaan sejumlah RTH di Jakarta, kata Yu Sing, juga belum mampu mengatasi persoalan banjir Jakarta serta kelangkaan air tanah. Sebab, dari sisi desain saja sudah salah.

"Taman di Indonesia, termasuk Jakarta, itu hampir semua desainnya ditanggul dan tanah tamannya itu lebih tinggi dari jalan. Ketika hujan apa yang terjadi? Hujan menggerus taman, kotoran yang ada di taman seperti pasir, tanah subur, semua masuk ke jalan, masuk ke jalan menyumbat saluran, menyumbat saluran masuk ke saluran beton," tutur dia.

"Walaupun itu baru dibersihkan saluran betonnya, itu akan tersumbat lagi, mengurangi lagi volume beton. Dan air dari perkerasan yang begitu banyak di beton Jakarta, halaman, dan sebagainya kemana airnya? Tidak masuk dalam tanah karena tamannya lebih tinggi," tuntas dia.

Bersambung

https://properti.kompas.com/read/2018/07/24/175203421/persoalan-jakarta-mirip-penyakit-kronis-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke