Persidangan tersebut terkait kasus rubuhnya dermaga Terminal 2E Aéroports de Paris (ADP) yang terjadi pada 2004 yang mengakibatkan empat orang meninggal dunia dan tujuh orang luka-luka. Empat perusahaan Perancis termasuk pihak ADP diseret ke pengadilan.
Hakim investigasi menilai ADP tidak menghormati prinsip kehati-hatian dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirya berakibat fatal di kemudian hari.
Pertanyaannya sekarang, beranikah pemerintah mengambil langkah lebih tegas terhadap penyedia jasa konstruksi?
Sejauh ini baru sanksi teguran yang diberikan pemerintah kepada kontraktor yang terbukti lalai dalam menjalankan tugasnya. Meskipun kontraktor tersebut, seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk, misalnya, telah berulang kali melakukan kesalahan.
Baca juga : Drama di Jalan Pattimura
"Kalau yang proyek jalan tol, saya sudah berikan sanksi. (Mulai dari) teguran dan lain-lain untuk memperbaiki buat yang di jalan-jalan tolnya," kata Direktur Jenderal Bina Marga Arie Setiadi Moerwanto di kantornya, Kamis (8/2/2018).
Padahal, pemerintah memiliki instrumen yang lebih tegas yang diatur di dalam Pasal 96 huruf f UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yaitu terkait pencabutan izin. Namun instrumen itu tidak kunjung ditegakkan.
"Ini merupakan fenomena gunung es. Bisa jadi passive factor, yang dalam hal ini pihak manajemen total (penyedia) jasa konstruksi adalah akar permasalahannya. Bukan sekadar active factor atau front liners yaitu pekerja atau teknologi," kata Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia Harun al-Rasyid Lubis.
Lantas, kapan pemerintah bakal mengubah sikap menjadi lebih tegas? Apakah kembali menunggu nyawa-nyawa lain melayang?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.