JAKARTA, KOMPAS.com - Urbanis Indonesia dan Direktur Rujak Center for Urban Studies, Marco Kusumawijaya menilai kota-kota di Indonesia belum siap menghadapi laju urbanisasi.
Infrastruktur dasar seperti mobilitas, sumber daya air, energi, dan perumahan tidak cukup memenuhi kebutuhan penduduk kota yang sudah menetap sejak lama. Terlebih untuk mengantisipasi laju urbanisasi.
"Tetapi, masalahnya bukan sekadar cukup atau tidak dalam jumlah total, melainkan pembagian dan akses yang belum adil," ujar Marco menanggapi Kompas.com, terkait tantangan laju urbanisasi yang dihadapi perkotaan serta antisipasinya, Rabu (15/6/2016).
Karena keadilan dalam memberikan akses terhadap infrastruktur itulah, Marco menilai masih ada kemiskinan perkotaan.
Kemiskinan atau orang-orang miskin kota ini ada bukan karena salah mereka. Menurut Marco, kemiskinan merupakan produk dari kesalahan kebijakan.
"Selama masih ada yang miskin, berarti belum (cukup) adil. Kota itu baik dan siap kalau sudah sudah tidak ada yang miskin," sebut dia.
Penilaian Marco bukan tanpa alasan. Di sektor perumahan dan permukiman saja, kota-kota Indonesia menghadapi backlog 7,6 juta rumah pada tahun lalu, dan 3,4 juta unit rumah tak layak huni dengan luas permukiman kumuh mencapai 38.000 hektar.
Sementara cakupan pelayanan penyediaan air bersih nasional baru mencapai 67,7 persen. Demikian halnya dengan cakupan pelayanan pengolaan sampah yang masih berada pada angka 56 persen.
Di bidang ekonomi perkotaan, menurut studi Asian Development Bank (ADB 2015), Incremental Capital Output Ratio (ICOR) perkotaan Indonesia rasionya masih 6,7. Bandingkan dengan Singapura, Thiland, Malaysia, dan Vietnam yang mencapai 3 sampai 4.
Padahal, semakin rendah ICOR semakin produktif dan banyak modal yang masuk.
Tak mengherankan jika kota-kota di Indonesia masih rendah daya tarik dan daya saingnya. Untuk kategori kota layak huni saja, Jakarta masih berada pada posisi 115 versi The Economist Intelligence Unit (EIU 2015), dan kategori daya saing Jakarta di urutan 76 dan Surabaya 113 (EIU 2013).
Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Hermanto Dardak, mengakui pembangunan perkotaan Indonesia menghadapi sejumlah tantangan serius.
Laju urbanisasi yang pesat, dipastikan akan menambah berat beban masalah yang ditanggung perkotaan. Terutama dalam hal penataan ruang perkotaan, tata kelola perkotaan, ekonomi perkotaan, dan perumahan serta permukiman.
Berdasarkan New Urban Agenda, UN Habitat, populasi penduduk perkotaan dalam 4 dekade (1970 – 2010), meningkat 6 kali lipat.
Hingga 2010 lalu saja pertumbuhan sebesar 49,8 persen menjadi 119,8 juta jiwa. Sementara tahun lalu sudah mencapai 137,5 juta jiwa atau naik 53,6 persen.
Tahun 2035 nanti diperkirakan sebanyak 203,4 juta jiwa atau tumbuh 66,7 persen, dengan rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun mencapai 1,49 persen.
Sementara di sisi lain perkotaan berkontribusi 75 persen terhadap efek emisi gas rumah kaca. Selain itu, akibat perubahan iklim, muka air laut naik 0,73-0,76 centimeter per tahun.
"Dibutuhkan ketersediaan jasa dan fasilitas perkotaan yang lengkap, infrastruktur yang efektif, daya tarik investasi, dan daya saing bisnis," ujar Dardak.
Untuk mengatasi itu, BPIW melakukan perencanaan, pemrograman, dan pembangunan infrastruktur PUPR melalui Pendekatan Wilayah yang dituangkan dalam 35 Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) .
Pengembangan berbasis WPS merupakan suatu pendekatan pembangunan yang memadukan antara pengembangan wilayah dengan “market driven”, yang mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mendukung penyelenggaraan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan.
Untuk itu diperlukan Keterpaduan Perencanaan dan Kesinkronan Program (fungsi, lokasi, waktu, besaran, dan dana) antara Infrastruktur dengan pengembangan berbagai kawasan strategis dalam WPS: baik perkotaan, industri, maritim/pelabuhan, pariwisata, dan hinterland perdesaan.
"Hal ini dimaksudkan agar wilayah tersebut dapat berkembang menjadi wilayah yang kawasan pertumbuhannya saling terhubungkan," tegas Dardak.
Selain itu, keterhubungan digenjot sebagai strategi untuk meningkatkan dan menciptakan spesialisasi, komplementaritas (saling isi), sinergi dan skala ekonomi wilayah, serta membentuk kawasan perkotaan polisentris sebagai aglomerasi antar kawasan pertumbuhan/kota yang bertetangga dengan hinterland pedesaannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.