JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menghapus kebijakan 3 in 1 dinilai tepat.
Kebijakan yang awalnya dikeluarkan sebagai solusi temporer untuk mengatasi kemacetan pada jam sibuk, ini sudah terlalu lama dan banyak mengundang kontroversi.
Kebijakan ini hanya sedikit membantu mengurai kemacetan, namun menciptakan masalah sosial yang akut seperti eksploitasi anak-anak, ekspektasi pekerjaan yang salah, dan kecenderungan warga untuk mencurangi kebijakan tersebut.
Selain itu, kebijakan 3 in 1 terus dijadikan alasan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk tidak segera membangun angkutan massal sebagai solusi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro memaparkan hal tersebut kepada Kompas.com, Senin (16/5/2016).
Menurut Bernardus yang karib disapa Bernie, sudah waktunya Ahok membenahi Jakarta dengan fokus pada kebijakan berbasis teknologi, pengetahuan, dan infrastruktur yang mumpuni.
Kombinasi antara peningkatan kapasitas busway dan feeder-nya, dengan pembangunan mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT) berbasis rel, akan mengurai pola bepergian masyarakat.
"Demikian juga, harus dilakukan pembatasa jenis kendaran yang masuk ke pusat kota, dan pembangunan berbagai fasilitas parkir dan park-and-ride," tambah dia.
Karena itu, Ahok harus kerja cepat, memanfaatkan momentum agar semua selesa pada saat yang hampir bersamaan, sehingga transportasi multi moda yang nyaman bisa terwujud.
Sementara untuk mengamankan jam sibuk dan mengurangi kemacetan total, teknologi electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar juga layak dipertimbangkan untuk segera dijalankan.
Seperti di Singapura, congestion surcharge itu disertai dengan pajak dan lain-lain yang membuat perjalanan saat jam sibuk dengan kendaraan pribadi menjadi sangat mahal.
Untuk Jakarta, harus juga disertai dengan kenaikan biaya parkir dan pembatasan waktunya. Dengan demikian, sedikit demi sedikit orang akan menggunakan transportasi publik, begitu semuanya sudah tersedia.
Dan untuk perjalanan dari satu gedung atau blok ke blok yang lain, bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Jakarta harus mulai ini pada rencana detail tata ruang (RDTR) dan urban design guide line (UDGL).
Meski fokus pada kebijakan berbasis teknologi, namun Ahok juga harus melakukan pengembangan kawasan berbasis skala manusia.
UDGL-nya harus ditujukan untuk membuat berbagi superblok yang ada saling terhubung dengan sarana transportasi, dan bisa dilalui pejalan kaki secara nyaman.
"Kebijakan-kebijakan ini apabila dilakukan dengan serius, bisa membawa Jakarta menjadi kota dunia yang nyaman, layak huni dan kompetitif," pungkas Bernie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.