JAKARTA, KOMPAS.com - Reklamasi Teluk Jakarta bukan sekadar penambahan 17 pulau rekayasa sebagai lahan murah yang bisa dikembangkan, bukan pula tentang penggusuran kampung nelayan, atau dampak sosial lain yang ditimbulkan.
Reklamasi Teluk Jakarta adalah tentang bagaimana kota ini masih terjebak menjadi "gula"-nya Indonesia dan kegagapannya memaknai fungsi besar sebagai pusat segala aktivitas serta ketidakmampuan dalam mengendalikan para kapitalis yang bersembunyi di balik sorban "pembangunan".
Jakarta adalah kota yang menerus keliru dimaknai sebagai butuh "membangun". Padahal, jika mengacu pada pertumbuhannya yang kian pesat, salah satunya didorong oleh migrasi urban, seharusnya paradigma penyelenggara kotanya dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta adalah "mengendalikan".
Ketua Divisi Penelitian, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencana (IAP) yang juga seorang planolog, Henricus Andy Simarmata, mengatakan, untuk sekelas Jakarta seharusnya yang diutamakan adalah bagaimana mengendalikan pembangunan.
Bukan malah terus membangun, menggerus lahan, ruang terbuka hijau, dan dengan menghilangkan ekologi kota lainnya demi memuaskan para investor yang notabene berorientasi profit.
"Lihat saja kawasan TB Simatupang yang sekarang mulai tampak 'rusak' akibat masifnya pembangunan perkantoran, dan properti komersial lainnya," ujar Andy kepada Kompas.com, Selasa (10/5/2016).
Meski tidak haram, tambah Andy, untuk saat ini Jakarta tidak perlu reklamasi. Yang perlu dilakukan adalah perbaikan kawasan kumuh perkotaan, melakukan urban regeneration di beberapa bagian kota, yang saat ini perlu peningkatan, memperbaiki layanan birokrasi, dan meningkatkan kualitas kota menjadi layak huni (livable city).
Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995.
Dalam catatan Kompas, selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga dijadikan alasan untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
KLH dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN pun memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012.
Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama kembali mengukuhkan rencana reklamasi.
Izin tersebut dituangkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).
Kajian holistik
Ketika Pemerintah Pusat memutuskan penghentian sementara atau moratorium selama enam bulan untuk mengkaji kembali seluruh prosesnya baik dari segi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), regulasi, sosial, budaya, kemanfaatannya untuk kota dan warganya, serta masa depan, Andy menyatakan sangat setuju.
"Reklamasi harus menjadi opsi terakhir. Kalau pun sudah kadung dilakukan, endapkan dulu. Karena kita juga harus memikirkan bagaimana caranya membongkar laut yang sudah diuruk pasir, ke mana membuangnya. Itu menjadi masalah baru lagi. Kaji lagi," saran Andy.
Yang harus dilakukan pemerintah cuma satu yakni mendesentralisasikan fungsi Jakarta. Adapun fungsi yang sebaiknya didistribusikan secara merata ke daerah-daerah adalah fungsi pendidikan, fungsi industri yang didukung infrastruktur kepelabuhanan, dan fungsi aktivitas pemerintahan.
"Semua itu jangan lagi terkonsentrasi di Jakarta, tapi harus disebar, sehingga tekanan penduduk berkurang. Sekarang kan gulanya di situ-situ aja, sehingga pengusaha saat kehabisan lahan dalam pikirannya bangun pulau baru. Meski di laut tapi tetap masuk Jakarta," tutur Andy.
,Jadi, sekali lagi, menyelesaikan problema Jakarta bukan dengan reklamasi, tetapi dengan mulai mengurangi atau bahkan mencabut pusat aktivitas, ekosistemnya, dan lain sebagainya.
Pendek kata, lakukanlah desentralisai fungsi, bahwa jangan ada lagi visi "mengembangkan" Jakarta, tetapi mengendalikan, sehingga tidak ada lagi kasus membangun tanpa izin, mengangkangi ruang terbuka hijau, atau bahkan reklamasi yang labrak-labrak ketentuan.
"Apalagi 17 pulau baru ini dibungkus (menumpang) program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)," sebut Andy.
"Reklamasi tidak tabu, karena ia merupakan bagian dari revitalisasi untuk saat ini dan masa depan. Jadi, reklamasi tidak bisa dihindari karena adanya perubahan iklim," kata Kartini.
Dia melanjutkan, reklamasi merupakan pemulihan kembali, dan bisa dikatakan sebagai obat obat penawar supaya daerah menjadi baik. Kartini meminta para pihak yang kontra reklamasi untuk tidak pernah salah lagi dalam menilai reklamasi.
Pasalnya, secara konsep, reklamasi itu memang harus mengacu pada aturan hukum dan Amdal. Tidak bisa dilakukan secara asal dan sembarangan. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun aturannya secara komprehensif supaya tidak saling tumpang tindih.
Hal senada dikemukakan Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Beni Sutrisno. Menurut dia, Jakarta sangat luas atau hampir sama dengan Mexico City. Karena itu, pusat-pusat kegiatan harus dipecah agar tidak terjadi ekonomi biaya tinggi.
"Sekarang kan harga rumah saja sudah tidak masuk akal bila dibandingkan dengan pendapatan rerata warga Jakarta. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan itu ya dengan reklamasi," imbuh Beni.
Namun berbeda dengan Andy, reklamasi menurut Beni merupakan sebuah keniscayaan. Ada demand, atau kebutuhan. Sayangnya, dengan adanya moratorium menjadikan ketidakpastian bisnis. Dan ini sangat merugikan.
"Pengembang dan investor yang sudah melakukan reklamasi itu sudah menanamkan dana triliunan Rupiah, dana pihak ketiga pula. Ini kan berarti mengganggu usaha. Ini merugikan, karena kesempatan bisnis jadi hilang," jelas Beni.
"Reklamasi Teluk Jakarta jadi polemik kan karena perizinannya bermasalah dan belum ada Amdal," cetus Beni.
Atas dasar hal itu, Beni mengajak publik untuk tidak tabu membicarakan reklamasi. Karena dari sisi konsep, reklamasi bagus untuk membuat hidup menjadi lebih berkualitas.
"Semua aspek harus dibuka, jujur, dan transparan. Reklamasi juga tidak boleh eksklusif.," tandas dia.