"Untuk di Jakarta pasti berdampak semakin berat untuk membangun rusunami, misalnya. Sekarang ini saja, praktis, tak ada lagi pembangunan rusunami," ujar Eddy kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (12/3/2014), menanggapi kenaikan NJOP bervariasi di Jakarta yang disesuaikan dengan lokasi wilayah, mulai 120 persen hingga 240 persen.
Eddy mengatakan, besar kemungkinan pengembang rusunami atau rumah susun sederhana milik menaikkan harga. Pasalnya, untuk rusunami, agak sulit bagi pengembang membuat strategi dengan mengecilkan ukuran unit rusunami.
"Karena ukuran sekarang sudah paling kecil. Menaikkan harga akan lebih baik, hanya saja pengembang tidak dapat subsidi," kata Eddy.
Eddy menyatakan, selama kenaikan NJOP masih di bawah harga pasar, tidak akan ada masalah pada harga properti. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, ceritanya akan lain.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, pengembang diprediksi bakal membebankan kenaikan NJOP kepada konsumen. Hal itu dilakukan karena pengembang tidak mau rugi.
Maklum, lanjut Ali, selama proyek dalam masa pembangunan, pengembanglah yang harus menanggung PBB. Imbasnya, harga jual proyek kepada konsumen bisa lebih mahal 7 persen sampai 10 persen. Padahal, konsumen juga harus membayar PBB lebih besar setelah properti itu menjadi miliknya.
Kenaikan tarif NJOP pun bervariasi, tergantung kawasan. Karena itulah, Ali menyayangkan keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengerek harga NJOP di saat siklus properti memasuki perlambatan.
"Naiknya terlalu tinggi, meskipun memang seharusnya naik. Ketika dinaikkan sampai 200 persen, ini akan memukul niat pembelian properti," ujar Ali.
Ali mengatakan, kenaikan itu akan berimbas pada potensi pembelian yang melambat. Ia bilang, pasar akan terkena efek sesaat kenaikan NJOP ini.
"Market shock. Maklum saja, karena timing kenaikan NJOP ini tidak tepat. NJOP naik di saat sedang terjadi perlambatan ekonomi dan properti," kata Ali.
Seperti diberitakan, tingginya angka Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkotaan dan Pedesaan di DKI Jakarta tahun ini terjadi karena penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta. Kenaikan NJOP di Jakarta bervariasi disesuaikan dengan lokasi wilayah, mulai dari 120 persen hingga 240 persen.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menginginkan PBB menjadi sektor Pajak Daerah yang menjadi unggulan. Jokowi mengubah besaran NJOP karena selama empat tahun, NJOP tidak naik. Besaran NJOP yang tetap selama 4 tahun tidak sesuai dengan fakta, bahwa harga pasar sudah melonjak cukup tinggi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.