Betapa tidak, dari pengamatan dan survei yang dilakukan Kompas.com, selama masa pameran Indonesia Properti Expo 2014 pada Sabtu (8/2/2014) dan Sabtu (15/2/2014), harga pasar hunian yang diidamkan kalangan MBR justru terus meroket sebesar 15 persen hingga 20 persen dari pameran yang digelar tahun lalu.
Kalau pun masih ada rumah yang dibanderol dengan harga Rp 100 jutaan, lokasinya berada di kawasan tidak populer atau tidak termasuk dalam incaran konsumen akan batasan rumah idaman. Lokasi perumahan dengan harga yang masih dapat dijangkau MBR tersebut justru di pinggiran dengan aksesibilitas dan pilihan moda transportasi terbatas.
Contohnya, Fontana Lake yang dikembangkan PT Central Bangun Cemerlang. Meski harganya masuk kantong MBR, hanya Rp 115.000.000 untuk rumah tipe 30/72, namun lokasinya tidak mudah diakses. MBR harus berganti tiga kali moda transportasi yakni APTB rute Cileungsi-Blok M, angkot Cileungsi-Narogong, dan ojek, dengan ongkos yang harus dikeluarkan sebesar Rp 40.000 ulang alik. Dengan asumsi hari kerja 26, maka MBR harus merogoh kocek lebih dalam yakni Rp 1.040.000 sebulan.
Itu baru ongkos transportasi. Bila pengeluaran tersebut digabungkan dengan cicilan rumah untuk tenor 10 tahun, maka pengeluaran rutin yang harus dibayarkan oleh MBR tersebut (minus kebutuhan pokok, listrik dan air) adalah sebesar Rp 2 juta per bulan. Sementara MBR yang dapat mengakses hunian yang didukung Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tersebut haruslah berpenghasilan Rp 5 juta per bulan.
Pada gilirannya, harga rumah tersebut menjadi sangat mahal, tidak beda dengan harga rumah atau apartemen menengah di pusat kota, karena MBR harus mengeluarkan ongkos ekstra untuk transportasi. "Bisa-bisa harga rumah tersebut jadi Rp 500 juta, karena kami harus nombok untuk pengeluaran ongkos transportasi," ungkap Stefany Kim dan pasangannya, Wengki Kuswandi, seraya memerhatikan brosur demi brosur perumahan dengan seksama.
Pasangan guru TK dan teknisi TI yang akan menikah dan membeli rumah tahun ini, tersebut, terpaksa harus menunda mimpi mereka. "Untuk saat ini, kami tak sanggup membelinya. Yang bisa kami lakukan mengetatkan pengeluaran, hidup hemat, tidak boros, bila perlu berangkat kerja naik sepeda atau jalan kaki supaya bisa beli rumah dekat dengan tempat kerja," ujar Wengki menerawang.
Hal senada terjadi pada Bustomi, seorang pegawai negeri sipil di bagian perencanaan Pemprov DKI Jakarta. Ia mencari rumah dengan harga Rp 200 jutaan. Harga ini menjadi pertimbangan utama bagi Bustomi dan pasangan, selain lokasi dan reputasi pengembang.
"Dengan penghasilan saya sebagai PNS, tak bisa muluk-muluk. Asal harga dan lokasi cocok, saya akan beli," ujarnya yang datang ke pameran dengan berkereta dan saat ini masih menumpang di rumah mertua.
Sayangnya, setelah lama berputar-putar di area pameran, Bustomi yang menginginkan rumah di pusat kota Bogor, harus menelan ludah. Pasalnya, harga rumah yang ditawarkan, jauh dari bayangannya semula. "Harga rumah kok semakin mahal dan uang yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun masih saja kurang," cetus Bustomi.
Dua pasangan ini, hanyalah "sekelumit" kecil dari ratusan pasangan MBR yang mendatangi pameran dan berharap dapat membeli serta memiliki hunian masa depan. Benang merah yang mengemuka adalah rumah murah semakin tak terjangkau harganya. Jangankan rumah siap huni (ready stock) yang harga bisa 30 persen lebih tinggi, rumah inden saja bagi mereka masih sebatas mimpi.
Jadi, sampai kapan impian mereka jauh dari realisasi?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.