BI secara resmi memberlakukan aturan mengenai LTV untuk KPR. Aturan tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) BI No 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.
Regulasi baru ini dianggap Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Eddy Hussy tidak populis dan mengganggu pasar menjadi tidak kondusif. Bahkan, aturan tersebut akan menyulitkan konsumen properti pada masa depan.
Keberatan tidak hanya datang dari para pengembang yang tergabung dalam REI. Kompas.com juga mencatat keberatan dan kekecewaan para pengamat properti. Sementara itu, bank-bank penyedia kredit pemilikan rumah (KPR) umumnya malah mendukung aturan tersebut.
Seharusnya membatasi spekulan
Sebenarnya, aturan ini bisa dimengerti sebagai upaya menjaga pertumbuhan KPR, khususnya untuk menekan sepak terjang spekulan. Dalam aturan tersebut, BI berencana mengatur besaran uang muka KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) untuk hunian tipe di atas 70 meter persegi. BI mengenakan uang muka LTV untuk rumah pertama sebesar 30 persen, dan uang muka minimal 40 persen untuk KPR kedua. Sementara itu, uang muka minimal 50 persen untuk kredit pemilikan rumah ketiga, dan seterusnya.
Direktur Hubungan Masyarakat BI Difi A Johansyah pada Minggu (21/7/2013) mengatakan, ada 3 alasan utama BI perlu mengatur LTV pada pembelian rumah kedua dan ketiga. Pertama, BI berkonsentrasi pada harga-harga properti, khususnya properti yang dijadikan agunan kredit ke bank. BI mengkhawatirkan kalau nilainya turun bank yang akan terkena imbasnya.
Kedua, permasalahan disparitas semakin kuat. Permintaan kredit untuk rumah atau apartemen mewah makin tinggi. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan KPA mencapai 111 persen per tahun.
Faktor ketiga, lanjut dia, berdasarkan survei BI pada konsumen, pilihan konsumen dalam berinvestasi saat ini lebih banyak di sektor properti dibandingkan sektor lain. Tak heran, kecenderungan membeli properti saat ini didominasi untuk investasi.
Pada akhirnya, kata Difi, pemberlakuan aturan LTV KPR ini untuk menghindari terjadinya gelembung (bubble) di sektor properti. Bahkan, sebetulnya, Indonesia tergolong lambat menerapkan aturan ini dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia.
Perlu dikaji ulang
Eddy Hussy mengungkapkan bahwa aturan LTV ini perlu dikaji ulang. "Memang, REI mengharapkan kebijakan ini tidak berlaku lama, mungkin hanya jangka pendek dan harus ditinjau kembali. LTV untuk 30, 40, dan 50 persen itu bagus untuk mengerem, tapi sedikit memberatkan," ujarnya.
Meski dia yakin aturan ini dikeluarkan untuk tujuan baik, di sisi lain ada pengaruh bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah. Contoh praktis diberikan oleh Komisaris ISPI Group Preadi Ekarto. Ia mengungkapkan bahwa banyak keluarga yang ingin menyediakan rumah bagi anak-anak mereka akan mendapat kendala.
Sementara itu, menurut pengamat properti dari Indonesia Properti Watch (IPW), Ali Tranghanda, pengetatan KPR untuk rumah kedua oleh BI hanya akan berdampak negatif pada mekanisme permintaan dan pasokan pasar perumahan. Aturan ini pun, menurutnya, bisa salah sasaran.
"Di Jakarta, rumah tipe 70 itu tergolong rumah menengah atas. Kalau menengah atas, mau uang muka berapa pun tidak masalah karena mereka punya daya beli. Tapi, masalahnya, tipe 70 ini berimbas ke luar Jawa. Karena, di luar Jawa itu tipe 70 masih ada yang menengah ke bawah dengan harga Rp 300 juta. Itu end user, kan? Kalau end user harus menyediakan uang muka lebih tinggi lagi, itu berat buat dia," kata Ali di Jakarta (10/9/2013).