Ketua Umum REI Setyo Maharso mengatakan, DPP REI akan mendesak Bank Indonesia untuk melonggarkan aturan kredit konstruksi atau menunda penerapan larangan pemberian KPR inden untuk rumah kedua dan seterusnya, minimal enam bulan ke depan sambil menunggu kesiapan bank dan pengembang.
"Kalau diterapkan dadakan seperti ini ibaratnya mobil sedang melaju kencang, tapi tiba-tiba disuruh berhenti mendadak, tentu bahaya," ujar Setyo di Jakarta, Senin (30/9/2013).
Setyo mengatakan, penerapan pengetatan KPR inden dapat mematikan sektor properti secara perlahan-lahan. Pasalnya, KPR inden merupakan salah satu sumber pendanaan bagi pengembang lantaran tidak adanya kredit konstruksi.
Sebelumnya, Setyo juga menegaskan, jika aturan tersebut tetap dipaksakan, maka REI memperkirakan akan ada sekitar 180.000 tenaga kerja di sektor properti yang kehilangan pekerjaan. Akibat penerapan aturan KPR inden itu, akan ada banyak pengembang menengah bawah yang sulit melakukan pembangunan rumah. Pasalnya, selama ini KPR inden menjadi sumber permodalan, menyusul sulitnya mendapatkan kredit konstruksi pascakrisis moneter 1998.
"Sementara bagi pengembang besar, aturan ini juga akan menghentikan pasokan, sebab mayoritas bank memutuskan untuk tidak memproses dan melakukan akad kredit pasca-penerapan aturan tersebut hari ini," ujarnya.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) bakal memberlakukan perluasan aturan rasio pinjaman terhadap aset atau loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) pada Oktober nanti. Rencananya, BI akan menurunkan jumlah kredit yang boleh diberikan bank untuk pembelian rumah dan apartemen menjadi 50 persen dan 60 persen.
Aturan LTV tersebut terpaksa diberlakukan karena beleid sebelumnya, yakni uang muka minimal 30 persen, tak dapat membendung meningkatnya kenaikan permintaan dan harga rumah, terutama rumah 20 meter persegi-70 meter persegi dan di atas 70 meter persegi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal REI Eddy Hussy, mengatakan bahwa sebenarnya REI mendukung apapun kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk memperbaiki ekonomi nasional, namun sebaiknya aturan-aturan itu dikomunikasikan kepada dunia usaha dan tidak diterapkan secara mendadak. Menurut dia, untuk menjaga spekulan misalnya, BI bisa membuat aturan berdasarkan capital gain saja.
"Misalnya, pembeli rumah yang menjual kembali rumahnya dalam waktu satu tahun itu akan dikenakan pajak yang lebih tinggi, dan terus ke atas semakin rendah. Apalagi, kebanyakan spekulan biasanya membeli dalam bentuk tunai, dan jarang membeli menggunakan KPR," katanya.
"Saya sependapat jika aturan KPR inden ini sebaiknya dikaji ulang. Kebijakan ini harus dipertimbangkan karena tidak sejalan dengan tujuan pemerintah menyelesaikan backlog. Jadi pertumbuhan pembangunan rumah memang harus digenjot," tambah Eddy.
Eddy mengakui, pertumbuhan KPR memang naik lebih tinggi dibanding sektor lain. Namun, dari sisi kredit macet dan bermasalah (NPL) sangat rendah, yakni di bawah 2 persen.
"Justru pertumbuhan sektor properti harusnya didukung karena baik bagi Indonesia yang ingin mengatasi backlog," ujarnya.
Ihwal hal itu, Ketua The HUD Institute Zulfi Syarif Koto juga menyatakan kekecewaannya dengan sikap pemerintah yang mengakui sektor properti sebagai lokomotif ekonomi nasional. Namun, kata Zulfi, di sisi lain pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang merugikan program penyediaan perumahan nasional. Salah satunya peraturan BI yang melarang KPR inden.
Menurut Zulfi, peraturan Bank Indonesia yang melarang pemberian KPR untuk rumah inden (belum jadi) justru dapat membunuh pengembang menengah dan kecil. Karena selain KPR inden, beban pajak pengembang terus menekan, kredit konstruksi dihambat dan di sejumlah daerah banyak oknum aparat polisi yang mengintimidasi pengembang sehingga membuat biaya produksi rumah menjadi semakin tinggi.
"Kami menilai, kebijakan BI soal LTV dan KPR inden ini keliru dan salah sasaran sehingga dalam praktiknya dapat berdampak negatif terhadap penyelenggaraan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya mencapai 80 persen dari pembeli rumah di Indonesia. Mayoritas pengembang menengah bawah mengandalkan KPR inden untuk permodalannya, ini jelas berbeda dengan pengembang besar," kata Zulfi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.