Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saksi Peradaban yang Terabaikan di Tepi Sungai Musi

Kompas.com - 22/06/2011, 03:58 WIB

Hanya ruang utama yang sengaja dijaga tetap baik karena masih digunakan para kerabat berkumpul dan bersembahyang sekitar setahun sekali.

Generasi ke-14 Kapitan Tjoa, Benny Winardi (23), mengatakan, kendala utama dalam mempertahankan rumah dan bangunan utama di Kampung Kapitan adalah biaya. Selama ini, sumbangan dari pemerintah sangat minim. ”Kami pernah menghitung, biaya perbaikan sekitar Rp 1,5 miliar,” tuturnya di Palembang, Minggu (22/5).

Desakan pembangunan turut merusak tata kampung itu. Dari 15 rumah asli di Kampung Kapitan, kini tersisa empat unit. Satu rumah asli terlihat terpotong mengenaskan. Rumah itu terpapras hingga hanya menyisakan puing-puing sayap bangunan. Di lahan bekas paprasan itu, sebuah gedung modern lantai empat menjulang tinggi. Bangunan yang merusak nuansa tradisional Kampung Kapitan ini hanya digunakan sebagai sarang walet.

Retno Purwanti dari Balai Arkeologi Palembang menilai, meskipun kecil, Kampung Kapitan didesain dengan baik. Itu terlihat dari alun-alun persegi panjang yang berada di tengah Kampung Kapitan. Lapangan di tengah alun-alun dari tatanan lempengan batu hitam itu dulu digunakan sebagai tempat pertemuan dan penyelenggaraan acara keagamaan.

Kini, lapangan ini lebih mirip lahan liar. Ilalang dan gerumbul semak berselang-seling dengan tiang-tiang lampu taman yang mulai karatan. Tiang-tiang lampu taman dipasang pemerintah di seluruh penjuru lapangan sekitar tahun 2007. Niatnya adalah mempercantik kawasan yang telah dinyatakan sebagai kawasan wisata dan budaya tersebut.

Namun, sosiolog dari Universitas Sriwijaya, Alfitri, menyebut, pemasangan lampu taman justru memperlihatkan belum adanya konsep pembangunan kawasan budaya yang mengacu pada nilai sejarah dan kultur kawasan kampung tua. ”Tiang-tiang lampu itu justru merusak fungsi sosial dan religi lapangan di Kampung Kapitan,” katanya.

Kampung Arab

Kampung tua lainnya di tepi Sungai Musi, Palembang, menyimpan kisah pilu yang berbeda. Berjarak 15 menit menyusuri Sungai Musi dengan perahu ketek, Kampung Arab Al Munawwar yang dibangun 1790-an itu sempat nyaris digusur pemerintah. Tahun 2005, pemerintah mengumumkan kampung yang berdiri tahun 1790-an itu akan digunakan untuk membangun Jembatan Musi III.

Salah satu tetua Kampung Arab, Ahmad Alkaf bin Hussein (57), mengisahkan, warga menolak keras rencana itu. Mereka berunjuk rasa dan memblokir jalan hingga akhirnya pemda mengubah rencana dan memindahkan lokasi Jembatan Musi III.

Kampung yang terletak di Kelurahan 13 Ulu itu didirikan saudagar asal Hadramut, Yaman Selatan, Sayyid Abdurrachman bin Muhammad Al Munawwar atau dikenal Habib Al Munawwar. Saudagar itu datang ke Palembang untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Saat ini, di Kampung Arab Al Munawwar didiami generasi ke-4 hingga ke-7 keturunan Habib. Seperti leluhurnya, hampir semua warga yang berjumlah sekitar 18 keluarga itu bermata pencaharian sebagai pedagang kain dan konveksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com