Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saksi Peradaban yang Terabaikan di Tepi Sungai Musi

Kompas.com - 22/06/2011, 03:58 WIB

Kampung-kampung tua di tepian Sungai Musi menyimpan penggalan sejarah peradaban yang membentuk Kota Palembang. Namun, kini rumah-rumah yang mulai melapuk tengah bercerita tentang kisah muramnya. Kisah tentang saksi sejarah yang terabaikan.

Embusan angin lembab dari Sungai Musi masih bisa dirasakan di selasar depan rumah panggung Kapitan Tjoa Ham Hien di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang, Sumatera Selatan. Dari selasar kayu unglen inilah, Kapitan Tjoa mengawasi arus perdagangan di Sungai Musi lebih dari 100 tahun lampau.

Rumah ini merupakan bangunan utama di Kampung Kapitan yang dulunya digunakan sebagai kantor sang kapitan. Tempat tinggal Kapitan Tjoa yang juga berupa rumah panggung berada tepat di sebelah kanannya dan hingga kini masih dihuni generasi ke-12 Tjoa Kok Lim atau Kohar (78).

Pada tahun 1910, Kapitan Tjoa adalah satu-satunya warga Tionghoa yang terpilih untuk duduk bersama-sama warga Belanda dalam dewan penata kota yang dibentuk pemerintah kolonial bernama Haminte. Dari buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang editor Sejarahwan Palembang Djohan Hanafiah, disebutkan, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di China pada abad XIV.

Saat itu, Dinasti Ming membatasi jumlah pedagang China yang akan berdagang ke arah selatan (Kepulauan Nusantara) dengan membentuk semacam lembaga dagang negara. Lembaga dagang itu menjadikan Palembang sebagai salah satu basis dagang yang besar.

Banyak orang Tionghoa datang dan menetap, salah satunya di sekitar Kampung Kapitan. Ketika kekuasaan kolonial atas Kesultanan Palembang Darussalam menguat, Belanda mengangkat perwira China untuk mengatur kawasannya.

Mirip lurah di zaman sekarang, seorang kapitan bertugas mengatur masyarakat di wilayahnya. Kapitan Tjoa khusus mengatur komunitas Tionghoa yang banyak bermukim dan berdagang di Sungai Musi itu. Dia juga bertugas memungut pajak, menjaga keamanan, dan membangun jalan umum.

Bangunan utama Kampung Kapitan adalah rumah panggung khas Sumatera Selatan dengan sentuhan arsitektur Eropa dan Tionghoa. Dulu bangunan setengah kayu itu berhadapan langsung dengan Sungai Musi. Benteng Kuto Besak terlihat jelas di seberang hilir Sungai Musi.

Rusak berat

Kini, kondisi bangunan utama dan tatanan Kampung Kapitan rusak berat. Dari selasar bangunan utama, Sungai Musi tak dapat dilihat lagi. Di hadapannya kini hanya perkampungan baru yang dibangun beberapa waktu terakhir. Sebagian besar ruangan dalam pun telah hancur. Lambang-lambang singa simbol kebesaran perwira Tionghoa yang dulu ada di atas ambang pintu dan jendela hilang entah ke mana. Warga sekitar menggunakan tembok dan tangga batunya sebagai tempat menjemur pakaian. Mereka belum mempunyai kesadaran nilai sejarah rumah tersebut.

Hanya ruang utama yang sengaja dijaga tetap baik karena masih digunakan para kerabat berkumpul dan bersembahyang sekitar setahun sekali.

Generasi ke-14 Kapitan Tjoa, Benny Winardi (23), mengatakan, kendala utama dalam mempertahankan rumah dan bangunan utama di Kampung Kapitan adalah biaya. Selama ini, sumbangan dari pemerintah sangat minim. ”Kami pernah menghitung, biaya perbaikan sekitar Rp 1,5 miliar,” tuturnya di Palembang, Minggu (22/5).

Desakan pembangunan turut merusak tata kampung itu. Dari 15 rumah asli di Kampung Kapitan, kini tersisa empat unit. Satu rumah asli terlihat terpotong mengenaskan. Rumah itu terpapras hingga hanya menyisakan puing-puing sayap bangunan. Di lahan bekas paprasan itu, sebuah gedung modern lantai empat menjulang tinggi. Bangunan yang merusak nuansa tradisional Kampung Kapitan ini hanya digunakan sebagai sarang walet.

Retno Purwanti dari Balai Arkeologi Palembang menilai, meskipun kecil, Kampung Kapitan didesain dengan baik. Itu terlihat dari alun-alun persegi panjang yang berada di tengah Kampung Kapitan. Lapangan di tengah alun-alun dari tatanan lempengan batu hitam itu dulu digunakan sebagai tempat pertemuan dan penyelenggaraan acara keagamaan.

Kini, lapangan ini lebih mirip lahan liar. Ilalang dan gerumbul semak berselang-seling dengan tiang-tiang lampu taman yang mulai karatan. Tiang-tiang lampu taman dipasang pemerintah di seluruh penjuru lapangan sekitar tahun 2007. Niatnya adalah mempercantik kawasan yang telah dinyatakan sebagai kawasan wisata dan budaya tersebut.

Namun, sosiolog dari Universitas Sriwijaya, Alfitri, menyebut, pemasangan lampu taman justru memperlihatkan belum adanya konsep pembangunan kawasan budaya yang mengacu pada nilai sejarah dan kultur kawasan kampung tua. ”Tiang-tiang lampu itu justru merusak fungsi sosial dan religi lapangan di Kampung Kapitan,” katanya.

Kampung Arab

Kampung tua lainnya di tepi Sungai Musi, Palembang, menyimpan kisah pilu yang berbeda. Berjarak 15 menit menyusuri Sungai Musi dengan perahu ketek, Kampung Arab Al Munawwar yang dibangun 1790-an itu sempat nyaris digusur pemerintah. Tahun 2005, pemerintah mengumumkan kampung yang berdiri tahun 1790-an itu akan digunakan untuk membangun Jembatan Musi III.

Salah satu tetua Kampung Arab, Ahmad Alkaf bin Hussein (57), mengisahkan, warga menolak keras rencana itu. Mereka berunjuk rasa dan memblokir jalan hingga akhirnya pemda mengubah rencana dan memindahkan lokasi Jembatan Musi III.

Kampung yang terletak di Kelurahan 13 Ulu itu didirikan saudagar asal Hadramut, Yaman Selatan, Sayyid Abdurrachman bin Muhammad Al Munawwar atau dikenal Habib Al Munawwar. Saudagar itu datang ke Palembang untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Saat ini, di Kampung Arab Al Munawwar didiami generasi ke-4 hingga ke-7 keturunan Habib. Seperti leluhurnya, hampir semua warga yang berjumlah sekitar 18 keluarga itu bermata pencaharian sebagai pedagang kain dan konveksi.

Di kampung itu ada setidaknya 10 rumah tua yang masih terawat baik. Salah satunya adalah rumah kembar laut, yaitu sepasang rumah panggung tepat di tepi Sungai Musi dengan hiasan ukiran kaca patri warna-warni.

Guna menjaga kelestarian komunitas dan kawasan, sejumlah aturan diterapkan dengan ketat. Misalnya, larangan menjual bangunan ke luar komunitas. Penjualan hanya dilakukan antarkerabat. Kaum perempuan Al Munawwar juga dilarang menikah dengan pria dari luar komunitas sehingga sebagian besar pernikahan berlangsung antarmisan. Yang melanggar aturan-aturan ini tak diperbolehkan tinggal di Al Munawwar.

Aturan ini terdengar keras bagi orang awam, tetapi nyatanya berhasil menjaga kelestarian komunitas dan kampung itu. ”Aturan ini tidak kejam. Kami semua bisa menerima aturan ini karena dengan cara inilah kami masih bertahan,” kata generasi ke-6 Habib Al Munawwar, Zaid Ali Zaenal Abidin (36).

Mitu M Prie dari Miyara Sumatera Foundation mengatakan, kampung-kampung tua itu merupakan warisan hidup yang sangat langka di dunia. Artinya, kampung-kampung tua itu adalah peninggalan sejarah dan budaya yang masih dihidupi keturunan asli. ”Di berbagai negara, kampung tua dibuat dan direkayasa karena mereka tidak punya lagi. Kita yang punya di sini, asli dan original, justru diabaikan,” katanya.

Pengabaian itu telah memperlihatkan dampaknya. Melihat Kampung Kapitan kini timbul perasaan sepi dan merana kian terpinggirkan.

(Irene Sarwindaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com