Sebagai contoh, tingkat kebutuhan atas rumah atau housing backlog yang masih sangat tinggi. Tidak sedikit masyarakat yang belum memiliki hunian sendiri dengan berbagai alasan.
Sementara di sisi lain, ada upaya dari pihak tertentu yang ingin mengintensifkan lahan guna menyediakan infrastruktur serta ruang hidup yang asri berstandar global namun kurang mendapat dukungan.
"Kalau tidak siapa lagi yang akan melakukannya buat negara ini? Sektor publiknya juga belum siap dan sibuk dengan persoalan internalnya sendiri," kata Andrea dalam keterangan tertulis, Selasa (23/10/2018).
Tiga kasus terbaru yang terjadi belum lama ini, menurut dia, menjadi salah satu bukti bahwa paradigma tata ruang Indonesia masih terjebak dalam kompleksitas post-colonial syndrome, dogmatis dan anti perubahan.
"Ketiganya, hilangnya wacana Jembatan Selat Sunda, batalnya reklamasi pantai utara Jakarta dan kisruhnya perizinan Meikarta," sebut Andrea.
Ketiga proyek tersebut hendak digarap sektor swasta yang notabene memiliki pemikiran progresif. Visi mereka adalah membangun dengan motivasi mencari keuntungan.
Andrea memafhumi bahwa tidak ada yang salah dengan profit making, sejauh membuka peluang buat kemajuan kota dan wilayahnya.
:Sambil membantu pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi tempat yang memiliki kualitas ruang kota berstandard internasional agar bisa lebih kompetitif secara global," tutur dia.
Bila tidak, negara lain di kawasan Asia Tenggara yang justru akan menikmati hal itu. Pada akhirnya, Indonesia hanya bisa gigit jari sebagai penyandang status retoris negara G-20.
"Sebagian komponen bangsa ini tidak mau maju atau mungkin tidak paham bagaimana untuk maju. Mimpi untuk menjadi global itu cuma angan-angan," ucapnya.
Hal ini karena orang hanya sibuk berkutat dengan urusan prosedur yang hanya menunjukkan kekerdilan dalam perspektif berpikir dan sebagian lagi memainkan prosedur yang berujung ke dalam penyimpangan.
Untuk diketahui, dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, ada 17 proyek pulau yang sedianya akan dibangun. Namun, izin 13 pulau di antaranya telah dicabut Pemprov DKI Jakarta.
Ke-13 pulau tersebut adalah Pulau A, B, dan E (pemegang izin: PT Kapuk Naga Indah); Pulau I, J, dan K (pemegang izin: PT Pembangunan Jaya Ancol); Pulau M (pemegang izin: PT Manggala Krida Yudha); dan Pulau O dan F (pemegang izin: PT Jakarta Propertindo).
Kemudian, Pulau P dan Q (pemegang izin: PT KEK Marunda Jakarta); Pulau H (pemegang izin: PT Taman Harapan Indah); serta Pulau I (pemegang izin: PT Jaladri Kartika Paksi).
Sementara dalam proyek Meikarta, Lippo Group melalui tentakel bisnis propertinya PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) tersandung kasus dugaan suap yang dilakukan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro.
Suap tersebut diduga diberikan Billy kepada Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin dan sejumlah pejabat di Pemkab Bekasi guna memuluskan urusan perizinan pada proyek yang akan dibangun di atas lahan seluas 447 hektar tersebut.
Sedangkan kasus Jembatan Selat Sunda hilang bersamaan redupnya wacana pembangunan infrastruktur konektivitas yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera itu.
Kajian kelayakan jembatan sepanjang 25 kilometer dengan bentar 2.200 meter ini membutuhkan dana Rp 1 triliun.
PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS) merupakan pemrakarsa proyek. GBLS mencakup Pemerintah Daerah Banten-Lampung dan Artha Graha Network melalui PT Bangungraha Sejahtera Mulia serta Wiratman & Associate.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/24/090912421/meikarta-dan-jembatan-selat-sunda-kunonya-tata-ruang-kita